Pesut enggan menampakkan diri. Namun lelah kami terganti. Oleh panorama alam yang mengena di hati.
Baharunsyah, Samarinda.
Sekitar pukul 10.37 Wita kapal kami meninggalkan dermaga Muara Kaman Ulu menuju destinasi selanjutnya, Desa Pela. Masih ada waktu kira-kira tiga jam lagi. Seperti biasa, beberapa dari kami memilih ke anjungan atas kapal, melihat-lihat pemandangan lebarnya Sungai Mahakam ditemani angin perjalanan yang bertabrakan dengan kulit. Lagi-lagi kami melihat beberapa aktivitas konveyor batu bara tengah menurunkan muatan ke atas tongkang. Ada sekitar dua lokasi pertambangan yang kami lewati.
Kapal kami akhirnya memasuki daerah Kecamatan Kota Bangun. Ditunjukkan dengan munculnya Jembatan Martadipura dari kejauhan. Perlahan, perlahan, pelan, pelan, kapal kami berlayar melintasi bagian bawah jembatan. Ada beberapa serpihan batu bara yang tersangkut di bagian bawah jembatan, Kata rekan jurnalis Kaltim Post Ridhuan sambil menunjukkannya kepada saya. Setelah melintasi itu, tidak ada lagi pemandangan berbeda. Cuma lebarnya sungai dan beberapa kapal kecil yang lalu lalang.
Sekitar pukul 13.30 Wita tibalah kami di Desa Pela. Kapal tertambat di dermaga. Kami keluar sambil menantang tingginya suhu matahari siang itu. Kami akan bermalam di sini. Seperti biasa, penumpang perempuan bermalam di rumah warga yang sudah disiapkan sebelumnya. Sementara penumpang laki-laki tetap bermalam di kapal. Rupanya di sini sudah ada beberapa warga ibu kota yang datang sebelum kami. Mereka para mahasiswa yang sedang menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ada dua kampus. Yakni Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda dan Universitas Mulawarman (Unmul).
Kepala Desa Pela Supyan Noor sempat berkisah asal muasal desa tempatnya bermukim. Awalnya nenek moyang mereka adalah warga Banjar, Kalsel, yang kabur karena tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda.
“Tapi sampai di sini sudah bercampur dengan Kutai. Makanya kalau kami ke Kalsel bukan dibilang orang Banjar. Tapi di Kutai, kami dianggap orang banjar,” terang Supyan.
Sebagian besar mata pencaharian warga Desa Pela adalah nelayan. Meski ada pula beberapa yang mengembangkan pertanian dalam skala kecil berbentuk sayuran hidroponik. Tapi Pela saat ini lebih dikenal sebagai desa wisata. Sejak terbentuknya kelompok sadar wisata (Pokdarwis) pada 2017 lalu, kehidupan masyarakat perlahan demi perlahan mulai ada peningkatan.
Awalnya Pela termasuk desa tertinggal. Tapi saat ini termasuk desa berkembang. Di sini sangat jarang ada daratan. Ya, warga Pela membangun permukiman mereka di atas kayu. Jalanannya semua kayu. Rumahnya pun demikian. Wajar, sebab mereka hidup di atas bibir Sungai Pela. Bahkan ada yang masuk ke daerah rawa. Karena itu sangat jarang ditemukan daratan di sini. Supyan juga bilang di daerah yang banyak pepohonan itu ada habitat bekantan.
“Kalau sore biasanya mereka ada di atas pohon-pohon.”
Sayangnya sore ini kami tidak bisa menyempatkan melihat bekantan. Tujuan utama destinasi ini adalah menyaksikan pesut dengan mata kepala kami sendiri. Kata Edy Gunawan, Ketua Tim Jelajah Budaya, biasanya saat sore sekitar pukul 16.00-18.00, beberapa pesut bisa menampakan diri. Antusiaslah kami. Bersabar hingga sore demi menanti si pesut. Ah, sayang beribu sayang. Tidak ada satu pun tanda-tanda hewan ini muncul.
Kondisi air sedang surut ditambah cuaca yang panas membuat mamalia itu enggan berenang di Sungai Pela. Mereka memilih berenang di Sungai Mahakam yang lebih luas. Apa daya, kami pun kecewa tak bisa melihat pesut. Akhirnya kami diajak menuju Danau Semayang sekitar pukul empat sore. Salah satu danau terluas di Kaltim. Luasnya sekitar 13.000 hektare dengan kedalaman mencapai 3,5 meter. Tapi hari itu kondisi danau sedang surut. Sehingga dasarnya pun bisa kami pijak.
Apa hanya ini yang bisa kami nikmati? Ternyata tidak. Beberapa pengunjung dari rombongan kami ada yang memilih berenang.
“Kapan lagi bisa berenang di Semayang,” kata rekan jurnalis saya, Ridhuan. Saya dan rekan jurnalis lainnya, Rizki dari iNews TV memilih berjalan-jalan saja. Yang menariknya lagi ternyata di sana sudah disediakan banana boot, layaknya di pantai.
Sambil mengisi waktu luang, saya, Rizki dan beberapa pengunjung lainnya seperti Tamara dkk, menyempatkan bermain. Namanya permainan tatap-tatapan. Permainan ini beregu. Kalau ada yang saling menatap maka dinyatakan kalah. Saya kalah. Rizki keluar sebagai pemenang. Saking asyiknya, kami sampai tidak sadar bahwa sunset siap-siap menyapa. Edy Gunawan menjelaskan bahwa destinasi seperti inilah yang menjadi perhatian dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV. Yakni bentuk budaya berwujud non benda.

“Sekarang kami mengangkat warisan budaya tak benda mulai dari kesenian, objek bahasa. Sehingga fokusnya sekarang kami kemas dengan objek kemajuan budaya yang lain,” katanya.
Program jelajah budaya sendiri sudah dilakukan sebanyak empat kali. Untuk 2023 ini seharusnya berlangsung awal tahun tadi. Tapi karena ada perubahan nomenklatur, baru bisa terlaksana Juli. Pesertanya berjumlah sekitar 75 orang yang lolos dari seleksi awal tahun. Mulai dari pelajar, mahasiswa hingga tenaga pendidikan.
“Semoga ini bisa memacu dan memotivasi anak muda Kaltim untuk mengenal nilai budaya, cagar budaya dan objek kebudayaan lainnya agar bisa melestarikan kebudyaaan itu sendiri,” harapnya.
Tidak ada pesut, matahari terbenam pun menjadi penggantinya. Saya memandang syahdu panorama matahari yang berwarna jingga itu, berdiri sejajar dengan garis danau yang melintang. Berkaca-kaca mata saya. Menyaksikan indahnya rupa lukisan dari sang pemilik semesta. Momen ini sontak dimanfaatkan semua pengunjung untuk mengambil gambar. Guide sudah memanggil. Ini sudah memasuki waktu magrib. Disinilah akhir dari perjalanan kami. Terkenang oleh indahnya matahari terbenam, bersemayam di Danau Semayang. (boy)