Samarinda, reviewsatu.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Samarinda memprediksi musim kemarau tahun ini diperkirakan lebih kering dibandingkan sebelumnya. Hal ini buntut fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang datang bersamaan.
BMKG pun mewanti-wanti potensi kebakaran hutan dan lahan, kekeringan pada sumber air baku, dan gagal panen. Hal demikian diungkap Fiona, Forecaster BMKG Samarinda. Meskipun Kota Tepian sempat diguyur hujan deras selama beberapa hari, BMKG memprediksi musim kemarau akan tetap bertahan hingga akhir September.
“Tahun ini kami prakirakan kemarau dengan puncaknya di bulan Agustus dan September. Dan ditambah ada fenomena el nino, potensinya sampai Oktober,” kata Fiona, di kantor BMKG Samarinda, Senin (7/8/2023).
Dia juga mengedukasikan mengenai definisi kemarau yang bukan berarti tak ada hujan sama sekali. Kemarau terjadi ketika curah hujan dalam 10 hari kurang dari 50 milimeter. Atau dalam sebulan kurang dari 150 milimeter. Dengan kata lain hujan tetap ada namun curah dan intensitasnya yang rendah. Satuan milimeter menurut perhitungan BMKG berarti dalam satu meter persegi pada tempat yang datar, bisa tertampung air setinggi satu millimeter. Atau tertampung air sebanyak satu liter.
Fiona melanjutkan, pada Agustus ini Samarinda dan beberapa wilayah di Kalimantan Timur (Kaltim) bagian selatan akan mengalami curah hujan yang rendah. Berkisar 50–100 milimeter per bulan. Wilayahnya meliputi sebagian wilayah Penajam Paser Utara (PPU) dan seluruh wilayah Paser. Serta Kaltim bagian timur yakni Kutai Kartanegara (Kukar), termasuk Kaltim bagian utara yaitu sebagian wilayah Berau.
Kemudian memasuki September, Samarinda bersama giliran Kaltim bagian timur, yakni seluruh wilayah Bontang, sebagian wilayah Kutai Timur (Kutim), termasuk Kukar, dan wilayah Kaltim bagian barat, yaitu sebagian wilayah Kutai Barat (Kubar), mengalami hujan dengan intensitas rendah. Terjadi pada dini hari, pagi dan siang atau sore.
“Sebagian wilayah Balikpapan dan PPU, serta seluruh wilayah Paser juga termasuk,” tambahnya.
Oleh karena musim kemarau kali ini, pemanfaatan air untuk kebutuhan dari sisi pertanian, sumber air baku, hingga potensi kebakaran hutan harus menjadi perhatian disampaikan oleh Fiona. Dia menjelaskan biasanya petani akan hadapi musim tanam dan membutuhkan sumber air September hingga Oktober. Maka bisa jadi ada potensi gagal panen.
Selain itu, sumber air baku harus diwaspadai. Apalagi kalau sampai el nino hingga Oktober nanti. Maka akan mengakibatkan curah hujan yang sangat rendah.
“Kemarau kering yang melanda akibat el nino dan IOD positif diperkirakan membuat debit air sungai maupun sumber mata air mengalami penurunan. Hal tersebut dapat berdampak pada ketersediaan dan pasokan air bersih,” tambahnya.
Tidak kalah pentingnya, selama periode tersebut, masyarakat tidak membuka lahan dengan cara dibakar. Sebab, kondisi cuaca panas rentan menyebabkan kebakaran hutan. Ketika kemarau, curah hujan di bawah normal, sehingga berdampak pada kelembapan yang berkurang. Sementara di sisi lain, terjadi angin kencang dan suhu tinggi. BMKG juga selalu memperbarui informasi titik api melalui website mereka
“Itu yang menjadikan indeks potensi kebakaran hutan saat kemarau nanti menjadi tinggi. Ini yang saat ini terus kami pantau dan kami update melalui website,” terang wanita berhijab ini. (sal/boy)