Sapto Kecam PKP2B Beri CSR Beasiswa Rp 200 Miliar ke Luar Kaltim

Samarinda, reviewsatu.com – Anggota komisi II DPRD Kaltim Sapto Setyo Pramono mengecam pemberian Corporate Social Responsibility (CSR) beasiswa hingga ratusan miliar yang diberikan perusahaan PKP2B di Kaltim ke luar daerah.

Katanya sudah terlalu banyak PKP2B yang mengeruk hasil alam Katim, namun tidak berimbas apa pun terhadap pembangunan masyarakat lokal.

“Kami akan segera lakukan koordinasi lintas komisi, komisi III dan II untuk memanggil sekitar 30 PKP2B di Kaltim, baik itu yang aktif atau pun tidak,” katanya.

Dari data yang didapat, produksi batu bara dari PKP2B nilainya selalu menurun dari 2016 hingga 2020. Misalkan pada produksi tahun 2019 berjumlah 147,3 juta ton, turun pada 2020 menjadi 121,4 juta ton. Bahkan beberapa kontrak PKP2B ada yang sudah habis dan minta diperpanjang. Seperti PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023) dan PT Berau Coal (26 April 2025).  Pemanggilan PKP2B tersebut tetap bisa dilakukan, meski pun perizinan dan semuanya terpusat di Jakarta.  

“Kenapa tidak bisa. Perusahaan tidak bisa selalu berlindung di bawah ketiak pemerintah pusat, karena mereka beroperasinya di sini,” tambahnya.

Adapun hasilnya nanti bisa saja DPRD membentuk panitia khusus (pansus) atau kelompok kerja (pokja). Tugasnya nanti adalah memanggil PKP2B tadi, meminta keterangan lalu membuat rekomendasi. Baru selanjutnya diteruskan ke DPR RI dan pemerintah pusat.   

Memang sejak UU cipta tenaga kerja (Ciptaker) Omnibus Law disahkan, hampir semua perizinan pertambangan dan migas diambil alih oleh pemerintah pusat. Sapto pun berpesan agar pemerintah pusat jangan seenaknya pula mengambil keputusan tanpa memerhitungkan dampak dan risikonya di daerah. Apalagi memanjakan PKP2B agar puas mengeruk hasil alam tanpa memberikan dampak positif apapun.

“Pemerintah dan perusahaan dalam hal ini telah bertindak zalim,” singgungnya.

Sapto juga menyinggung nilai DBH migas yang diterima oleh Kaltim. Tidak sebanding katanya. Sejak 2004 hingga sekarang, sudah hampir Rp 700 triliun yang sudah diberikan Bumi Etam kepada negara. Tapi lifting atau pembagian serta dana perimbangan tidak sebanding, hanya 16 persen setiap tahunnya. Dari data yang didapat tim update, jumlah DBH migas yang diterima Kaltim sejak lima tahun terakhir nilainya fluktuatif. Pada 2016 lalu Kaltim mendapat Rp 991 miliar, 2017 Rp 446 miliar, 2018 Rp 767 miliar, 2019 1,095 triliun dan 2020 Rp 399 miliar.

Karena itu ia pun mendukung upaya politis dari gubernur Kaltim beserta provinsi penghasil migas lainnya saat raker di Bali beberapa waktu lalu. Dimana tuntutannya adalah meminta kenaikan jumlah dana perimbangan di hingga 30 persen. Termasuk dana penerimaan PNPB batu bara di atas 16 persen.

“Kita ini sudah cukup bersabar. Dari tahun 2004, sejak zaman SBY sampai Jokowi, dengan menteri keuangan yang sama, tidak ada kita keinginan untuk pisah dari NKRI,” sebutnya. Berbanding terbalik dengan provinsi lainnya yang diberikan keistimewaan dana perimbangan namun ingin memisahkan diri.

“Sementara kaltim yang minta hak sepantasnya tapi tidak ingin pisah dari NKRI justru tidak mendapatkan keadilan,” tutup politisi Golkar ini. (red)