Roma non si discute, si ama

bayong
Baharunsyah.

oleh: Baharunsyah*

Drama final Liga Eropa sudah usai. Sevilla berhasil kalahkan Roma dan kembali menancapkan kakinya sebagai rajanya Piala Eropa yang kedelapan kali berturut-turut. Lewat drama adu penalti. Yang membuat kaki penonton mendadak keluar keringat dingin.

Saya berada di barisan pendukung klub serigala ibu kota. Kalau dipikir-pikir kenapa pula saya memilih menjadi fans Roma. Bukan karena saya tidak suka Lazio. Iya, Lazio memang musuh bebuyutan mereka. Lalu, kenapa saya tidak memilih Lazio saja. Itu karena saya cintanya dengan Roma.

Rumit? Memang demikian. Susah ditebak alasannya kenapa harus mencintai ini klub. Semua karena karena cinta saja. Datang tiba-tiba dan sukar untuk diusir apalagi diperdebatkan. Kalau sudah cinta, segudang alasan rasional bahkan harta pun menjadi tiada arti. Saya sendiri belum pernah berkesempatan datang ke Stadion Olimpico di Italia sana untuk menyaksikan pertandingan Roma secara langsung. Cuma bisa melalui layar kaca. Tapi, kenapa masih mau menonton pertandingan demi pertandingan? Sekali lagi saya tidak mengerti. Rasa cinta dengan klub ini sulit untuk diterangkan dengan bahasa yang mudah sekali pun.   

Kalau bicara tentang klub ini, kita pasti akan familiar dengan satu sosok ikonik. Fransesco Totti. Sang pangeran ibu kota. Yang sepanjang karir sepak bolanya hanya bisa mengantongi satu gelar scudetto di Liga Italia. Dan beberapa gelar Piala Italia. Tapi ia tidak menyesali. Bahkan Real Madrid sempat mau merekrut dengan tawaran gaji fantastis justru ditolak. Katanya, “Saya lebih memilih meraih satu scudetto bersama Roma, daripada juara berkali-kali bersama Real Madrid.”

Baca Juga  Istri Gubernur Kaltim, Norbaiti Meninggal Dunia

Gila? Jelas gila. Orang waras mana yang bisa menolak tawaran menggiurkan Klub raksasa berjuluk Los Galacticos itu. Klub kaya raya loh. Uangnya, kalau kata Pak Zainal Muttaqin, pembina kami Rumah Disway, uwakeh. Saking banyaknya sampai pakai ‘w’. Itulah dia cinta. Sulit untuk dijelaskan secara nalar. Bahkan uang pun sulit untuk membeli perasaan itu.

Rasa cinta itu yang bisa saya lihat melalui tangisnya Paulo Dybala usai pertandingan di pinggir lapangan setelah kalah. Terduduk. Menyesal golnya tidak berbuah apa-apa. Bahkan ketika berdiri air matanya masih saja mengalir dan momen itu berhasil diabadikan oleh banyak fotografer. Bahkan sempat menjadi trending di tiktok dengan iringan musik sedih. Perasaan cinta itu pula yang sempat ditunjukan oleh pelatih Jose Mourinho ketika musim 2021/2022 bisa menjuarai piala UEFA Conference League. Ia menangis.

Baca Juga  Ganti Rugi Jalan Ring Road II, Warga: "Jangan Lagi Kami Didustai"

Tumben-tumbenan Mourinho menangis. Karena setiap kali menjuarai kompetisi baik di Inggris atau pun Spanyol, Mourinho cuma menunjukan ekspresi kalem. Tidak pernah keluar air mata. Di Roma sebaliknya. Ada teori fans yang bilang, Mourinho sudah terlanjur cinta di Roma. Itu adalah ekspresi bahagianya karena di Roma ia kembali mendapatkan kepercayaan diri.

Kita move on lagi. Dari wajah-wajah fans Roma yang menonton final Europea League, sebagian besar adalah muka-muka lama yang saya kenal. Yang dulunya sama-sama bujang, sekarang sudah naik kelas menjadi bapak-bapak. Meski ada pula yang masih nelangsa melajang. Dan beberapa wajah baru yang saya tidak kenal. Tidak tahu juga kenapa wajah-wajah baru ini lebih memilih menjadi fans Giallorosi. Bukannya di sana masih banyak klub dengan jumlah uang mentereng dan pemain papan atas yang menjadi idola. Kok bisa malah jadi fans klub yang pemain bintangnya tidak semegah klub tetangga.

Sekali lagi, itulah cinta. Sulit untuk dijelaskan. Karena sejatinya La Roma non si discute, si ama. Roma itu bukan untuk diperdebatkan, tapi dicintai. Eaaa.

*penulis adalah jurnalis reviewsatu.