Reporter: Yasinta
Samarinda, reviewsatu.com – Menikmati bubur peca di Masjid Tua Siratal Mustaqim, Samarinda Seberang merupakan tradisi yang tak lekang oleh zaman di kala Ramadan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga gempuran tiktok, tradisi ini masih diwariskan secara turun temurun.
Mardiana dan rekan-rekan mengambil tiga kuali besar berdiameter sekitar 60 sentimeter. Kuali itu diisi air dan ditaruh di atas tiga tungku yang sudah berjejer. Kayu bakar di jejal di bawahnya. Di sulut oleh api hingga mengeluarkan bara hitam kemerahan. Air yang sudah mendidih dimasukan ayam. Panci ditutup. Tunggu beberapa menit, ayam sudah matang. Aroma kaldunya begitu kuat. Mardiana mengambil, meniriskan, lalu memotongnya menjadi beberapa bagian kecil.
Rekan-rekan yang lain memasukkan beras bersama dengan rempah-rempah lain seperti pala dan kayu manis. Tak lupa bumbu yang sudah dihaluskan. Bahan-bahannya terdiri dari 10 kilogram bawang merah, lima kilogram bawang putih, satu kilogram jahe, serta penyedap tambahan lain.
Ini juga yang cukup penting. Santan. Fungisnya agar menambah rasa gurih pada makanan. Usai itu ayam yang sudah ditiris dan dipotong suir sebelumnya dimasukkan ke dalam panci. Setelah semua bahan masuk, Mardiana mengambil pengaduk dari kayu lalu memutar-mutar isinya searah jarum jam. Diaduknya terus isi panci itu sampai mulai mengering.
Usianya ketika itu sudah menginjakkan kepala tiga. Dia mewarisi cara memasak itu dari nenek dan ibunya. 240 bulan, 7.300 hari, 1.040 minggu sudah dilalui. Atau lebih tepatnya sudah 20 tahun dia menjadi tukang masak bubur peca. Usianya kini sudah memasuki masa senja. 56 tahun. Sudah waktunya bagi Mardiana untuk pensiun dan meneruskannya kepada generasi selanjutnya.
“Karena ini kan turun menurun, sudah 100 tahun,” katanya sambil mengaduk bumbu halus yang tertuang di dalam panci.
Areal tempat memasak bubur berada di belakang masjid. Tenda sudah disiapkan bersama sebuah rumah gubuk sederhana. Di dalamnya sudah tercium aroma bumbu yang menggoda hidung ummat muslim yang berpuasa. Sayang ketika di dalam justru agak sumpek. Alus, begitu orang-orang memanggilnya duduk di dalam situ.
Hanya satu dari sekian warga yang meneruskan tradisi ratusan tahun ini katanya. Dia bilang masyarakat percaya jika bubur peca merupakan obat panjang umur dan asam lambung. Bubur peca ini tidak tiba-tiba ada. Awalnya dimulai dari nenek moyang Alus yang nota bene keturunan Suku Bugis. Kemudian berlangsung turun menurun hingga sampailah kepada Alus sebagai generasi ketiga.
Tidak hanya dia. Ada enam orang selain yang diwariskan. Dan dalam pembuatannya Alus ditugaskan untuk mengontrol dan khusus membuat bumbu. Perempuan yang tinggal di Palaran ini mengungkap pembuatan bubur peca dilakukan setiap hari. Selama Ramadan. Dari tiga kuali yang disiapkan, dua untuk warga sekitar. Sisanya dibagikan untuk jamaah yang hendak berbuka puasa di masjid.
Satu kuali bisa menyediakan hingga 300 porsi. Artinya hampir 900 porsi yang dibagikan setiap harinya. Masyarakat sekitar percaya jika memakannya akan mendapatkan berkah. Bahan-bahan itu semua didapat dari sumbangan warga dan donatur. Dia mengungkap ketika sudah tidak mampu, maka tanggung jawab itu akan ditahbiskan kepada penerusnya yang dianggap mampu.
“Enggak bisa enggak diwariskan karena ini kan turun menurun sudah 100 tahun,” imbuhnya.
Rasa buburnya sendiri sangat gurih. Aroma rempahnya begitu kuat. Rasanya tidak terlalu asin tapi juga tidak hambar. Sebagai pendamping, telur ayam rebus yang diiris setengah di taruh di atas piring, kemudian disiram dengan bumbu merah. Untuk lauknya sendiri bervariasi. Tidak sama setiap hari.
Terpisah, Sofian (43), Takmir mesjid Sirotol Mustaqiem mengatakan tradisi pembuatan bubur peca berumur hampir sama dengan masjid tersebut. Yaitu sekitar 141 tahun. Ia menyebut pada zaman dulu rumah warga masih berjarak cukup jauh. Dan hal itu menjadi kendala untuk mengumpulkan warga.
Sehingga ketika ada syukuran atau tradisi buka bersama dilakukan di mesjid. Dan terbawa hingga saat ini. Ia menambahkan tradisi tersebut berjalan setiap Ramadan. Dengan bahan-bahan yang disumbangkan oleh masyarakat.
“Ada yang nyumbang beras, ada yang nyumbang kelapa, telur, ayam,” ungkap pria berbaju putih pada sore itu.
Ia mengatakan kondisi mesjid tersebut ramai pada setiap harinya di bulan Ramadan. Bahkan warga dari luar daerah turut hadir. Di antaranya dari Jakarta, Sulawesi, Surabaya. Bahkan luar negeri seperti Brunei Darussalam hingga Belanda juga ada.
“Pokoknya dari Belanda sana, karena pembangunan masjid ini kan juga ada campur tangan dari orang Belanda dulu,” pungkas Sofyan. (dey/boy)