Samarinda, reviewsatu.com – Syafruddin atau biasa disapa Bang Udin punya kisah kelam sebelum menginjakkan kaki menjadi politisi. Bagaimana ceritanya?
1997, setahun sebelum gelombang reformasi bergulir, Syafruddin pertama kali injakan kaki di tanah Kalimantan. Niatnya adalah ingin merantau ke Samarinda. Tapi apa daya. Keterbatasan ekonomi membuatnya harus singgah dulu ke Banjarmasin. Tempat ia pertama mengadu nasib menjadi kuli bawang di pasar. Upah yang ia terima kala itu adalah Rp 7.000 per hari. Jika ia bisa membantu memikul atau mengangkut bawang sesuai pesanan, Syafruddin mendapat tambahan penghasilan. Rp 500 untuk sekali angkut. Berbulan-bulan ia menekuni pekerjan pertamanya itu. Sembari memendam mimpi kelak kakinya akan menginjakkan tanah Samarinda.
Saat itu satu-satunya angkutan dari Kalimantan Selatan menuju Kalimantan Timur adalah bus. Biaya tiket bus sekitar Rp 25.000. Beruntung, uang hasil sebagai kuli dan memikul bawang yang memang ia simpan, sudah cukup. Akhirnya dengan mantap hati, Udin muda meninggalkan tanah Kalsel menggunakan bus. Ia duduk di kursi sambil sesekali melihat ke kanan dan kiri. Pohon rindang nan besar masih menghimpit di kanan kiri jalanan. Awan putih di atasnya seakan berjalan mengekor mengikutinya. Dan tibalah ia di terminal bus antar provinsi Samarinda Seberang.
“Pertama kali tiba di terminal seberang, terus naik kelotok seberangi sungai dan naik ojek di depan Masjid Raya Darussalam. Itu yang berkesan, tukang ojek di depan masjid raya,” tutur Syafruddin saat menjadi narasumber di Rumah Disway belum lama ini.
Pangkalan ojek di Dermaga Pelabuhan Samarinda itu menjadi saksi bisu kedatangnnya ke Kota Tepian. Sekarang pangkalan ojek tersebut sudah tidak ada. Pemkot Samarinda di bawah komando Andi Harun-Rusmadi mulai menata dermaga tersebut. Sesampai di sana ia pergi lagi menuju rumah ayah angkatnya di Air Hitam. Ongkos ojek dari dermaga pelabuhan sampai tempat tujuan saat itu adalah Rp 1.500.
“Belum langsung kuliah. Awalnya saya mau jadi calon tentara, tapi ternyata enggak sesuai. Saya kerja bangunan lagi, jadi kuli bangun orang,” tambahnya.
Salah satu bangunan yang sempat dikerjakan adalah Mal Lembuswana.
“Saya sempat jadi kuli di situ.”
Pekerjaannya kala itu sebagai kuli membuat Udin gusar. Ya, puluhan kilometer ia lalui, lautan Indonesia yang luas dilewati, tidak mungkin ia meninggalkan kampung halaman hanya bekerja sebagai kuli terus menerus. Sampai suatu ketika ia berjalan kaki dari Jalan Pembangunan (ketika itu masih bernama porvo) dilihatlah rumah dengan desain yang indah. Pagarnya menjulang. Arsitekturnya memukau. Udin bertanya-tanya. Apa pekerjaan mereka sebenarnya. Ternyata pertanyaan batin itu malah membangkitkan semangatnya untuk menjadi lebih baik. Ia merantau lagi keluar Samarinda ke Muara badak, Kukar. Berharap bisa mengejar mimpi. Sayangnya mimpi itu harus terjegal lagi. Udin kembali menjadi kuli demi menyambung hidup.
“Sudah, cukup. Kalau saya kerja bangunan terus, saya enggak akan berkembang,” tegasnya membatin.
Hingga ia memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga empang. Sembari membersihkan temposo atau sarang rayap yang menggunung di empang. Gajinya Rp 25.000 per hari. Disitulah ia mulai menitikan air mata. Udin berdoa pada Sang khalik. Berharap agar hidupnya bisa berubah. Ia pun kembali bekerja sebagai kernet di perusahaan migas Vico selama enam bulan. Gajinya lumayan untuk dirinya yang masih bujang. Sampai akhirnya, awal milenium, Udin kembali ke Samarinda untuk kali kedua. Kali ini tekadnya berkuliah sudah bulat. Uangnya cukup untuk mendaftar. Bahkan ia bisa membeli kendaraan sendiri.
“Dulu pakai honda jet colled. Terus kuliah di FKIP Unmul.”
Tapi, suami dari Damayanti merasa tidak sreg. Sebab setiap berkuliah di FKIP harus punya ikatan dinas untuk mengajar. Ia tak setuju. Lalu ia pindah berkuliah ke FISIP Unmul. Disinilah ia pertama kali mengenal yang namanya politik. Termasuk aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bukti aktifnya Udin sebagai aktivis dimulai ketika semester II.
“Saya rajin demo, sampai tahun 2001 saya ditangkap polisi karena waktu mahasiswa dianggap brutal.”
Kasusnya kala itu para mahasiswa mengadvokasi para pedagang kaki lima citra niaga yang digusur. Mahasiswa demo di kantor DPRD Samarinda. Mereka kesal. Sampai akhirnya chaos. Udin ketahuan memukul kaca kantor dewan sampai pecah. Ia ditangkap, dimasukan ke jeruji besi sampai sembilan hari.
“Tapi perjalanan itu semua akhirnya membuat saya semakin dewasa,” tuturnya yang mengenakan rompi hijau bergambar lebah di sebelah kiri.
Lantas bagaimana ia melihat aksi mahasiswa saat sekarang? Ya, setiap melihat mereka, masa lalu Udin mendadak terbuka di hadapan. Terkenang ketika ia pertama kali menjadi aktivis. Ia jadi tidak kaget menghadapi mereka. Baginya mahasiswa adalah agen perubahan dan pengontrol kebijakan.
“Sejarah Indonesia ini yang memotori adalah mahasiswa. Mereka punya kekuatan moral. Dinamika gerakan itu bagi saya biasa karena itu bagian dari proses (pendewasaan,red).”
Meski pun ada pula kritikan yang ia sematkan. Mahasiswa, khususnya aktivis harus melakukan edukasi dulu sebelum menggelar demonstrasi. Setelah edukasi, langkah selanjutnya baru mengadvokasi rakyat, barulah demo. Jadi tidak demo dulu namun miskin isi. Disitu kadang ia kecewa. Banyak mahasiswa yang berdemo namun tidak mau berdiskusi.
Perjalanan Politik
Tahun 2008, terjadi dinamika di internal PKB. Ketika itu Udin sudah bergabung di partai setelah demisioner sebagai Ketua PMII Samarinda. Jabatannya di partai ketika itu cuma Wakil Ketua DPC PKB Samarinda. Tidak strategis. Sayangnya ia harus ikut terseret ke konflik internal. Dimana kala itu DPP PKB terjadi dualisme. Antara kubu Gus Dur dengan Ali Masykur Musa. PKB Kaltim kala itu pun juga alami dualisme. PKB kubu Udin lebih berafiliasi kepada Muhaimin Iskandar, yang juga sehaluan dengan Gus Dur.
“Saya terseret ke situ.”
Tak berapa lama ia dipanggil pengurus DPP PKB untuk diminta kesiapan menjdi care taker sekretaris PKB Kaltim. Udin menerima. Di sini tantanganya. Setelah menerima mandat itu banyak fungsionaris dan kader partai lain yang ogah bergabung ke struktur partai dengannya. Tak patah arang. Udin mengumpulkan rekan perjuangannya semasa mahasiswa. Sampai aknhirnya struktur terbentuk dan SK DPP turun.
Di tahun itu PKB belum punya kursi di DPRD provinsi. Cuma ada di kabupaten/kota. Lalu pemilu 2009 dilalui. Masih belum dapat kursi juga di Karang Paci. Bisa dikatakan dibilang ini periode buruknya PKB. Tapi bukan Udin namanya kalau berhenti berjuang. Ia mengevaluasi keseluruhan kinerja partai. Ia jaring lagi caleg-caleg potensial. Memetakan potensi suara dan lainnya. Sampai tiba masanya pemilu 2014. Bum, PKB mendapatkan lima kursi di DPRD Kaltim. Alias satu fraksi. Saat ditanya apa rahasianya, Udin menjawab santai.
“Saya minta kerjakan hal sederhana. Tampilkan politik yang santun dan sederhana, itu cara kita bekerja,” urainya.
Kini ia sudah dua periode menjadi wakil rakyat di DPRD Kaltim. Di pemilu 2024 nanti, Udin sudah memantapkan hati maju di DPR RI. Kepada para kader lebah hijau di Kaltim ia pun berpesan.
“Luruskan niat, jangan bengkok-bengko. Jangankan Tuhan, rakyat saja enggak suka kalau niatnya sudah tidak lurus.” (boy)