Perputaran dunia ini cepat. Bahkan cenderung berubah-ubah. Tak ubahnya dengan sepak bola.
Terlepas dari euforia Argentina setelah menjadi juara piala dunia 2022, sesungguhnya, banyak hal lain yang bisa di telaah. Ya, piala dunia kali ini menyisakan banyak kisah. Mula dari tidak lolosnya Italia, yang cukup mengejutkan saya sebagai fans Gli Azzuri. Sampai kalahnya negara-negara unggulan oleh para kuda hitam.
Negara-negara unggulan di atas kertas itu seperti Jerman, Belanda, Spanyol sampai Brazil. Mereka justru kalah oleh tim kuda hitam yang di atas kertas tidak begitu diunggulkan. Jepang, Arab Saudi hingga Maroko adalah anomali tersebut. Saya sendiri cukup heran. Biasanya mendengar nama-nama negara tersebut, tim lain pasti akan keder. Bursa taruhan akan lebih menjagokan mereka. Tapi apa yang terjadi? Taruhan mereka gagal.
Saya pun sempat bertanya-tanya dengan kawan saya yang seorang pandit amatiran. Kata-katanya cukup sederhana namun melekit. “Itu artinya sepak bola sudah banyak berubah, tidak seperti dulu,” begitu kata kawan saya itu.
Butuh waktu bagi saya untuk merenung. Sampai pada sebuah titik saya berujar, ada benarnya juga ya. Sepak bola modern sekarang sudah banyak berubah. Filosofi bermain tidak seperti dulu. Bertahan total ala cattenacio-nya Italia, langsung menusuk ke depan ala direct pass-nya Inggris, atraktif ala total football Belanda, ball possession atau pengusaan bola dengan umpan-umpan pendek ala tiki taka seperti Spanyol. Semua itu kini sudah dimentahkan oleh satu skema. Namanya pressing. Atau pressure. Atau gegen press, menekan lawan.
Saya tidak mau menjelaskan skema ini lebih detail. Intinya metode permainan pressing adalah terus memepet musuh sampai tidak punya ruang untuk bergerak atau memainkan ritme permainan. Kemana pemain musuh bergerak, kita harus mengikutinya. Kira-kira begitu. Dan gaya bermain seperti ini mulai banyak diadopsi oleh tim-tim elit Eropa.
Di Italia saja, yang merupakan soko gurunya bertahan total atau cattenacio, beberapa klubnya malah menjadikan pressing sebagai filosofi bermain. Inter Milan dan Atalanta misalnya. Inggris juga sama. Tidak ada lagi istilah long pass atau umpan-umpang panjang langsung ke depan gawang seperti era 90-an. Beberapa klub pun memainkan gaya bermain pressing. Liverpool contoh nyatanya. Manchester City pun sama. Belakangan MU pun mencoba mengadopsi gaya bermain ini lewat eks pelatih mereka Ralf Ragnick. Meski pun gagal.
Ya, karena gaya bermain pressing ini ternyata juga banyak variannya. Untuk kali ini saya tidak ingin membahas varian dari gaya bermain pressing tersebut. Mungkin di lain kesempatan. Artinya apa? Artinya filosofi bermain yang dianut selama beberapa dekade saja bisa luntur seiring berjalannya waktu. Gegen press, atau pressure, atau menekan lawan adalah gaya permainan saat ini.
Kembali ke diskusi awal kami tentang negara-negara besar yang kalah tadi. Apa yang membuat mereka tersingkir. Salah satu alasan yang kami sepakati dikarenakan mengadopsi taktik jadul. Tim menjadi kurang variatif saat berhadapan dengan skema baru berupa pressing. Saat semua memainkan gaya pressing, tim-tim lain masih asyik ‘bernostalgia’ dengan skema lawas mereka. Bahkan ada yang masih mengandalkan kemampuan skill individu. Padahal sepak bola bukan cuma berbicara tentang skil perorangan.
Akibat filosofi bermain sudah berubah, maka kebutuhan tim dan skuad tentu harus mengikuti dong. Pemain harus bisa menjalankan instruksi tersebut. Tuntutannya adalah kemampuan fisik pemain. Karena gaya bermain pressing memang menuntut pemain memiliki nafas kuda. Sebab harus bergerak lincah mengikuti kemana arah pergerakan pemain lawan. Akhirnya pola latihan harus menyesuaikan. Termasuk pula infrastrutkur pendukung. Seperti tempat latihan, nutrisi sampai pola latihan.
Nah, bisa jadi ini yang sempat membuat Cristiano Ronaldo mengkritik keras kondisi timnya waktu masih berseragam MU. Gym latihan tidak pernah berubah. Mulai dari dia tiba pertama kali sampai datang lagi. Kamp pelatihan juga. Sementara tuntutan strategi harus berubah. Tapi fasilitas justru tidak mendukung. Makanya tidak banyak pemain yang bisa beradaptasi cepat dengan cara bermain pressing. Contohnya si badut Maguire.
Begitulah uniknya sepak bola. Olahraga ini tenyata tidak cuma menyajikan hasil di atas lapangan. Bahkan di luar lapangan. Sesuai dengan bentuknya yang bundar. Sama seperti siklus hidup. Kadang dia di atas, kadang pula di bawah. Disinilah, bagi saya, letak keseruannya itu. (*/boy)
*oleh Baharunsyah, redaktur reviewsatu.com