*oleh: Baharunsyah
Banyak kalangan yang memprediksi bahwa 2023 mendatang akan gelap gulita. Ekonomi dirundung ketidakpastian. Ada yang khawatir, ada yang optimistis, tapi ada juga yang biasa saja.
Sebelum membahas tentang gelap gulita, kita melenceng sedikit. Bercerita tentang filsafat. Kali ini saya ingin memulai dengan membahas faham stoikisme.
Stoikisme atau stoisis saja kita menyebutnya, adalah sebuah falsafah hidup yang menekankan pada upaya untuk menahan diri agar tidak terpengaruh pada kondisi eksternal di luar kemampuan kita.
Belakangan ini di semua media streaming, entah itu youtube, podcast dan sebagainya ramai membahas tentang stoikisme. Orang yang menganut faham ini dinamakan stoik.
Misalkan saat kita berada di tengah kemacetan, sumpek dan panas, naluri alamiah kita pasti ingin meluapkan emosi. Ingin marah. Dalam stoisis, kecenderungan itu harus dikontrol. Karena macet tadi berada di luar kontrol kita sebagai manusia. Tidak ada yang menghendaki adanya macet. Jadi, alih-alih marah gara-gara macet, lebih baik tenangkan diri, luangkan waktu untuk berfikir sejenak dan evaluasi. Yang menarik falsafah hidup ini sudah berumur panjang. Sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Tapi masih relevan sampai era modern sekarang.
Sebenarnya cukup bagus apa yang hendak disampaikan dalam falsafah ini. Sayangnya akhir-akhir ini falsah tersebut mendadak menjadi industri. Lah, kok bisa? Coba saja kita saksikan di dunia maya atau kanal youtube dan lainnya. Hampir semua influencer, youtuber bahkan artis pun terang-terangan mengaku sebagai stoik.
Konsepnya adalah menahan diri. Menahan diri dari pengeluaran tidak penting, menahan diri dari keinginan membeli di luar kemampuan keuangan dan sejenisnya.
Para artis, influencer, youtuber itu memilih tidak ingin repot. Sederhana saja dalam memilih sesuatu. Bisa survive atau bertahan di masa kini saja sudah syukur. Kalau dapat lebih ya Alhamdulillah. Sekilas memang menarik. Tapi lama-lama bisa menjadi racun. Stois berlebih bisa merangsang seseorang untuk menjadi fatalis. Apatis. Bahkan cuek atau pasrah berlebihan.
Dalam sejarah Islam, mazhab berfikir ini dianut jabariyah. Di mana manusia cuma wayang dalam pertautan semesta. Dalangnya adalah Tuhan. Sehingga, segala hal yang terjadi pada wayang adalah kehendak sang Dalang. Atau Tuhan. Si wayang tidak punya kuasa apa pun untuk menentukan dan memutuskan nasibnya. Itulah fatalisme.
Sekarang kita beralih ke 2023. Banyak yang memprediksi bahwa tahun depan kondisinya akan kelam. Baik itu oleh presiden, menteri, ekonom sampai konsultan keuangan. Dengan kata lain masyarakat mesti siaga hadapi potensi resesi ekonomi tahun depan. Rakyat sipil, di 2023, yang penghasilannya pas-pasan harus mulai mencari pemasukan tambahan. Kalau perlu cari pekerja paruh waktu.
Kalangan menengah yang punya aset, bersiap-siap saja kehilangan. Iya, menakutkan memang. Sehingga bisa jadi tahun depan, kalangan stoik ini bisa jadi akan mengambil tempat. Sebagai kaum yang mencoba ‘menghibur’ masyarakat agar tidak stres. Stoisis akan jadi pelarian masyarakat yang susah hidupnya. Sama seperti saat ini.
Pertanyaannya apakah itu pertanda buruk? Dalam beberapa hal iya. Jika terlalu berlebihan masyarakat justru enggan untuk berkembang. Alih-alih ingin memacu pertumbuhan dan kehidupan, masyarakat udah terlanjur memilih pasrah. Bersyukur saja dengan kenyataan yang ada. Stoisisme akhirnya hanya menjadi pelarian dari kegagalan menghadai resesi atau tekanan ekonomi.
Di satu sisi stoisis memerkuat mental untuk hadapi tantangan ekonomi. Namun di lain malah menjadi alat untuk melemahkan mental kalau tidak disikapi secara bijak. Sehingga bisa saja tahun depan akan muncul kalangan yang mendadak stoik.
Lalu, apakah stoisis ini bisa menjadi solusi hadapi resesi di 2023? Secara langsung mungkin tidak. Apalagi beharap menambah pendapatan. Tapi, stoisis bisa menjadi self defense. Sebagai pertahanan mental untuk menghadapi potensi-potensi turunnya sumber ekonomi. Stoisis mengajarkan kita untuk tetap calm down. Tenang. Tidak panik. Tidak grasah grusuh. Karena yang tenang, itu yang akan menang. Begitu kata Dewa Eka Prayoga. (*/boy)
*penulis adalah Pemimpin Redaksi reviewsatu.com