KUKAR, PARIWARA – Memasuki Ramadan, biasanya ada tradisi yang masih dijaga dan dilestarikan. Seperti tradisi Laduman di Desa Jantur, Kecamatan Muara Muntai.
Ledakan dari meriam kayu ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga menjadi penanda waktu berbuka bagi masyarakat setempat sejak 1950.
Laduman dibuat tanpa peluru menggunakan batang pohon besar. Setiap tahun, warga Desa Jantur menyiapkan dua unit laduman yang ditempatkan menghadap ke hulu dan hilir agar suaranya terdengar lebih luas.
Kepala Desa Jantur, Abdul Aziz, menjelaskan bahwa tradisi ini pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad Samran, yang saat itu menjabat sebagai kepala desa. Awalnya, Laduman hanya ada di Jantur, tetapi seiring waktu, suaranya dapat terdengar hingga Kubar, Penyinggahan, Tanjung Isuy, dan Muara Muntai.
“Dulu, Laduman hanya ada di Desa Jantur. Namun, setelah pemekaran desa, suara ledakannya dapat terdengar hingga wilayah lain,” katanya pada Minggu (2/3/2025).
Setiap tahun, pembuatan Laduman dilakukan secara gotong royong. Warga mengumpulkan dana sekitar Rp 5 juta untuk membeli bahan baku dan konsumsi selama proses pembuatan.
“Biaya pembuatan Laduman berasal dari iuran warga. Biasanya digunakan untuk makan dan minum selama gotong royong,” tambahnya.
Salah satu warga Desa Jantur, Mukmin, mengatakan bahwa Laduman pertama kali diperkenalkan oleh almarhum Imam Yahya. Pada masa lalu, belum banyak yang memiliki jam, sehingga Laduman dijadikan penanda waktu berbuka.
“Dulu, tidak semua warga punya jam. Maka dibuatlah Laduman dari batang pohon besar seperti nangka air. Proses pembuatannya bisa memakan waktu lebih dari seminggu,” ungkapnya.
Laduman yang telah dibuat dapat digunakan sepanjang Ramadan selama tidak mengalami kerusakan. Setiap menjelang azan magrib, warga mengisi meriam dengan karbit sekitar lima menit sebelumnya. Laduman ditembakkan dua kali sehari dengan stok karbit sekitar 20 kilogram selama Ramadan.
Selain sebagai penanda berbuka, Laduman juga kerap ditembakkan pada malam takbiran Idulfitri jika masih ada sisa karbit. “Kadang-kadang malam takbiran masih ditembakkan, tetapi tujuan utamanya tetap sebagai penanda berbuka puasa,” pungkasnya.
Dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, masyarakat Desa Jantur berharap Laduman dapat terus dilestarikan oleh generasi mendatang sebagai bagian dari warisan budaya. (*/adv)