Akademisi Peduli Wadas: Penguasa Sewenang-wenang Terhadap Warga Negara

wadas
Konferensi pers KIKA. (tangkapan layar)

Reviewsatu.com – Dalam perkembangan terakhir, warga Wadas pejuang lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas aka Gempadewa, kembali mendapat tekanan.

Melalui rilis yang diterima redaksi pada Selasa (5/9/2023), Akademi Peduli Wadas, menjelaskan tekanan kepada Gempadewa awalnya berasal dari undangan kantor pertanahan, terkait musyawarah persetujuan pelepasan hak tanah untuk penambangan andesit. Undangan dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo, melalui surat Nomor 2175 1/UND-33.06.AT.02.02/VIII/2023 tertanggal 29 Agustus 2023, digelar pada Kamis, 31 Agustus 2023.

Poin dalam undangan menyatakan bahwa warga yang tidak hadir akan dianggap menerima bentuk dan besaran ganti kerugian. Di hari pertemuan, seakan tidak ada pilihan, warga Desa Wadas pejuang lingkungan berarak menuju Balai Desa Wadas untuk memenuhi undangan. Dikabarkan, pada hari yang sama juga puluhan polisi dari Polres Purworejo, Bintara Pembina Desa, dan sejumlah tentara mengepung Balai Desa Wadas. Kehadiran warga, seakan bukan lagi musyawarah, tak ada opsi, termasuk untuk menolak bentuk dan besaran ganti kerugian. Semua merasakan terpaksa mengikuti prosedur yang ditentukan sepihak oleh pemerintah. Warga diwajibkan hadir. Bila warga tidak hadir, mereka dianggap setuju perihal pemberian ganti rugi Padahal, warga menyatakan, tatkala musyawarah berlangsung, warga tetap saja dipaksa untuk menerima pemberian ganti rugi. Tidak ada ruang bagi warga untuk menolak. Klaim sepihak Pemerintah tersebut, jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa warga Wadas pejuang lingkungan penolak tambang masih konsisten menolak rencana penambangan.

Pernyataan dari Akademisi Peduli Wadas, itu diwakili Dr. Rikardo Simarmata (Ketua Pusat Kajian Djojodigoeno FH UGM), Dr. Herdiansyah Hamzah (Ketua Pusat Studi Anti Korupsi FH UNMUL), Dr. Rina Mardiana (Dewan Penasehat Pusat Studi Agraria IPB dan Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB), Dr. Dhia Al Uyun (Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dosen FH UB), dan Dr. Herlambang P. Wiratraman (Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM).

Dr Herdiansyah Hamzah, delegasi Akademi Peduli Wadas dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman menganggap ancaman konsinyasi sebagai cara kotor pemerintah untuk merampas tidak hanya tanah warga Wadas, tapi juga ruang hidup serta masa depan anak cucu mereka.

“Bahkan secara prinsip, metode konsinyasi tidak dikenal dalam rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,” ujarnya.

“Ini artinya, kami berpendapat, surat undangan yang dilayangkan beserta intimidasi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo sama sekali tidak memiliki legitimasi hukum. Di tengah penolakan warga dan Izin Penetapan Lokasi yang telah habis, pemerintah terus memaksa warga menyerahkan tanahnya, melanjutkan proyek, dan terus menebarkan ancaman konsinyasi,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, pertama, Pasal 42 ayat (2) UU a quo menyebut konsinyasi hanya bisa dilakukan jika “penerima yang berhak” tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam perkara di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan/atau masih menjadi jaminan bank.

“Dengan demikian, maka sikap warga Desa Wadas yang menolak pertambangan batuan andesit tersebut tidaklah memenuhi klausul persyaratan konsinyasi,” tegasnya.

Kedua, lanjut Herdiansyah, Pasal 10 UU a quo secara eksplisit menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum. “Artinya, kegiatan pertambangan bukanlah bagian dari objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Berdasarkan kedua alasan tersebut, maka upaya konsinyasi yang hendak dilakukan pemerintah, jelas adalah bentuk intimidasi yang bertujuan untuk merampas tanah dan ruang hidup warga Desa Wadas,” tegas Castro, sapaan karibnya.

Ia menekankan, mewakili para Akademisi Peduli Wadas, “Kami mengingatkan Pemerintah Republik Indonesia, termasuk jajaran pemerintah penyelenggara di lapangan, Pemda Jateng, Pemkab Purworejo, BPN/Kantor Pertanahan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” ujarnya. Pertama, dari sisi hukum agraria, begitu mudah dan banyak dijumpai kecacatan yang terjadi dalam proses pengadaan tanah ataupun proses formal menuju pelepasan hak. Ini sekaligus membuktikan rezim hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa dengan mudah menyalahgunakan hak warga negara untuk mendapatkan ruang hidup yang layak dan terhindar dari ancaman eksklusi atas dasar kepentingan umum.

Kedua, “Kami perlu mengingatkan betapa besar konsekuensi yang akan terjadi bila Proyek Strategis Nasional terus dijalankan, tanpa keberpihakan sisi kemanusiaan dan ekologis. Serta belajar dari kasus Wadas, penghancuran sosial budaya warga dan perusakan alam itu demikian nyata terjadi,” ingatnya.

Ketiga, lanjutnya, kasus di Wadas merefleksikan telah terjadi kesewenang- wenangan penguasa terhadap warga negaranya, pelanggaran hak konstitusional, serta politik hukum yang kian jauh dari tujuan negara.

“Pada akhirnya, kami mendesakkan Negara, terutama Pemerintah, untuk mengetuk nurani kemanusiaan, mengupayakan pembatalan atas rencana penambangan yang kian hari kian jelas berdampak buruk secara kemanusiaan dan ekologis, dan pula begitu banyak menghilangkan hak hak dasar warga negara yang dijamin tegas dalam UUD NRI 1945,” desak Castro.

Benturkan Warga
Dr. Rina Mardiana, dari Pusat Studi Agraria IPB sekaligus juga pejabat di Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB, menyatakan bahwa Wadas itu situs yang mempertunjukkan kelindan relasi kekuasaan dan paradigma pembangunan (pertumbuhan ekonomi) hingga terjadinya krisis sosio agraria-lingkungan di tingkat tapak.

“Melalui Wadas, kita bisa melihat, pertama, bagaimana mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan yang menggunakan instrumen kebijakan Negara dan melalui pengerahan aparatur Negara. Kedua, sejauh mana dampak krisis sosio agraria-lingkungan terhadap konflik sosial vertikal dan horizontal di masyarakat,” katanya.

Ia menyampaikan, proses pengadaan tanah atas nama pembangunan yang berlangsung di Wadas telah memicu kontestasi antara Negara versus rakyat. Negara menggunakan kuasa eksklusi melalui modal kekuasaan kultural, kapital, dan simbolik. Adapun warga Wadas berjuang melawan Negara dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif warga/komunitas. Menurutnya penundukkan warga melalui kekuasaan Negara telah sukses mendulang peralihan lahan dari tangan rakyat ke Negara. Warga yang takluk itu disebut sebagai pihak pro. Sedangkan warga yang terus berjuang melawan potensi ancaman krisis agraria-lingkungan di tanah-air mereka, disemati stigma kontra.

“Padahal, sejak isu pertambangan batu andesit ditetapkan sepihak oleh Negara, serentak warga Wadas yang bekerja di sektor pertanian, seluruhnya tegas menyatakan penolakan atas tambang,” ungkapnya. Menurutnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam mengendalikan opini dan media, telah menggerus sendi-sendi sosial kemasyarakatan warga Wadas, yang membenturkan kelompok pro dan kontra tambang sehingga konflik horizontal tak terhindarkan.

“Strategi memecah belah keguyuban warga Wadas sebagai satu kesatuan entitas sosial semacam ini sebagai strategi kuno yang lahir dari era kolonial. Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah di masa kini kita menjajah diri kita sendiri?” tanyanya.

sumber; nomorsatukaltim.com