UTAMA  

Tersulut Api Sejarah di Tanah Muara Kaman

Muara Kaman
Situs budaya Lesong Batu. (Bayong)

Kini kami menapakkan kaki di tanah bersejarah. Tanah tempat raja-raja kuno pernah hidup menancapkan legenda kedigdayaan mereka. Tanah tempat saksi perjuangan melawan penjajahan. Tanah ini, bernama Muara Kaman.

Baharunsyah, Samarinda.

Melawan arus dari hulu, kapal kami meninggalkan Desa Lekaq Kidau di Kecamatan Sebulu, menuju Kecamatan Muara Kaman. Kira-kira perjalanannya memakan waktu hampir dua jam. Kapal kami akhirnya menepi di dermaga Muara Kaman Ilir, berbarengan dengan azan magrib. Mesin dimatikan. Para rombongan bersiap-siap turun. Kami berencana bermalam di sini untuk beristirahat, melepas lelah setelah melalui perjalanan jauh keluar dari wilayah perairan Samarinda. Rombongan perempuan turun dari kapal dan membawa barang-barang mereka menuju pemondokan untuk tidur. Sementara yang laki-laki tetap tidur di dalam kapal.

Sekitar pukul 20.00 Wita, selepas isya, pihak desa Muara Kaman Ilir menyiapkan panggung budaya. Berhadapan dengan Monumen Muso Salim yang berdiri tegak di depan dermaga, tempat kapal kami bertambat. Terpal untuk alas penonton duduk ditaruh di depan panggug. Malam ini akan diadakan pagelaran budaya dari para rombongan. Mulai dari tarian tradisional dan lainnya.

Salah satu peserta rombongan bernama Agus Maulana tampil. Ia seorang guru SMP di salah satu sekolah di Kabupaten Paser dan akan membawakan tarian Nyembolom Taka. Wajahnya di sebelah kiri dihias dengan sebuah motif. Pinggangnya mengenakan sabuk yang dihiasi bulu-bulu berwarna kuning. Di atas panggung ia tampil maksimal. Meloncat. Meliuk. Tubuhnya dan tangannya begitu lentur dan lentik. Penonton bahkan ikut bersorak. Terlihat Agus sangat menjiwai perannya sebagai penari. Selain itu beberapa kegiatan lain juga ditampilkan.

Setengah jam jelang tengah malam barulah acara berhenti. Di dalam kapal kami bercengkrama tentang bagaimana ia bisa membuat tubuhnya begitu lentur dan lentik. “Harus dilatih setiap hari tangannya,” kata Agus sembari menirukan gerakan tangannya itu. Ia bercerita mendapat kesempatan mengikuti jelajah budaya yang diadakan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV lewat undangan.

Nah, salah satu syarat untuk ikut adalah menunjukkan bakat seni daerah untuk dinilai oleh panitia. Untung bertuah. Agus diterima. Sejak itulah ia termasuk salah satu peserta jelajah budaya paling jauh.

“Tempat saya tinggal di Paser dekat perbatasan Kaltim-Kalsel, dekat Tanjung (Kalsel,red),” ujar Agus. Demi bisa ikut serta ia harus berangkat satu hari sebelumnya agar bisa menginap di Samarinda. Barulah ikut rombongan menaiki kapal dari dermaga Sungai Kunjang.

Baca Juga  Polisi Tangkap Mucikari Prostitusi Online Semprot.com, Begini Cara Kerjanya..

Selepas bercengkrama kami memilih beristirahat. Tidak ada terdengar derik jangkrik. Maklum, kami tidur di dalam kapal. Sunyi, senyap, di atas sungai. Hingga pagi pun menyapa keesokan hari. Sekitar pukul 08.00 Wita, rombongan berkumpul di depan monumen. Kali ini kami akan mengunjungi situs bersejarah peninggalan kerajaan Kutai Ing Martadipura. Karena rombongan kami pesertanya hampir seratus orang, maka keberangkatan ke situs pun digilir dengan menggunakan pick up. Maklum, jaraknya lumayan jauh sekitar 800 meter. Itu pun kami bergantian menaiki pick up.

Tibalah kami di situs. Kami memasuki sebuah rumah ulin yang didalamnya berisi keramik-keramik, hingga replika prasasti yang pernah ditemukan di Muara Kaman. Kepala desa Muara Kaman Ulu Hendra sudah menyambut di dalam. Ia bercerita setiap tahun ratusan orang beragama Hindu datang kemari untuk berziarah.

Ternyata, di belakang rumah ulin tadi terdapat situs Lesong Batu. Menurut beberapa literasi, Lesong Batu merupakan benda keramat peninggalan kerajan Kutai Hindu di bawah kepemimpinan raja Mulawarman Nala Dewa. Lesong Batu juga merupakan saksi sejarah keberadaan kerajaan pertama dan tertua di nusantara ini. Hendra berpesan agar menjaga etika selama melihat-lihat. Ia melarang pengunjung untuk membawa barang apa pun dari sini.

“Jangan bawa benda di sini pulang, takut kena bala (musibah,red),” pesannya.

Lesong Batu merupakan batu dengan panjang sekitar 2,5 meter. Bobotnya diperkirakan lebih dari 1 ton. Konon, batu ini pernah menjadi incaran penjajah Jepang. Begitu penuturan salah satu warga setempat yang enggan disebutkan namanya. Dulu, penjajah Jepang sudah pernah membawa batu ini menaiki kapal. Tapi ketika di perairan Sungai Mahakam, mendadak ada gelombang sehingga membuat kapal karam.

Pemandangan Lesong Batu. (Bayong)

Batu itu pun ikut tenggelam. Namun ajaibnya, esok harinya batu itu sudah berada di tepi sungai. Beberapa hari kemudian batu tersebut malah pindah tempat lagi berada di dekat tempatnya saat ini. Warga sekitar pun percaya bahwa batu itu punya kesadaran untuk bergerak. Karena itu di sekitar batu dibuatlah ‘benteng’ yang terbuat dari bahan keramik. Dan posisi batu itu tidak lebih tinggi dari lantai berbahan keramik tersebut.

Baca Juga  KMS Kaltim Sampaikan Catatan Akhir Tahun, Semuanya Penuh Persoalan

Masih menurut penuturan warga tadi, setiap tahunnya warga Hindu pasti datang berziarah kemari. Mereka membawa sesajen untuk ditaruh di Lesong Batu. Rata-rata peziarah tersebut dari luar Kaltim. Masuk lebih dalam lagi, kami diajak menuju ke sebuah dermaga. Yang konon di sini ada dua buah batu yang juga dikeramatkan. Batu itu dipercaya pernah berdiri patung lembu (sapi), yang menjadi simbol kekayaan Raja Mulawarman saat itu. Memang tidak ada patung sapi. Tapi di batu yang sudah berlumut itu, terdapat empat titik yang menjorok ke dalam. Penduduk sekitar percaya bahwa empat titik itu adalah bekas kaki patung sapi.

Bukan kiasan lagi bahwa Raja Mulawarman, raja Kutai saat itu, sempat dijuluki ‘Crazy rich’ pertama dari Nusantara. Gara-gara pernah mendermakan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.  

“Kebayang kan betapa kaya nya raja Mulawarman kala itu. Hitung saja harga sapi sekarang berapa, kalikan 20.000 ekor,” tutur Edy Gunawan, Ketua Tim jelajah Budaya kepada kami.

Muara Kaman.
Ketua Tim Rombongan Jelajah Budaya Edy Gunawan menjelaskan sejarah Lesong Batu. (Bayong)

Kami kembali mendatangi Hendra, Kepala Desa Muara Kaman Ulu untuk mencari tahu perkembangan situs budaya ini. Mulai dari perawatan dan lainnya. Katanya, pihak desa tidak punya kewenangan lantaran ini masuk dalam ranah kerja Dinas Pariwisata Kukar. Maunya Hendra, di tempat ini juga dibangun pondok UKM. Dimana warga sekitar juga bisa menjual pernak pernik lokal kepada para pengunjung. Termasuk jajanan lokal. Sayang usulan itu ditolak.

Hendra juga berkata pernah mengusulkan agar nama Muso Salim bisa menjadi tempat khusus di Muara Kaman. Dirinya iri. Bagaimana tidak. Di Samarinda saja ada salah satu jalan bernama Jalan Muso Salim. Tapi di tempat asalnya justru tidak dibuat demikian, selain hanya monumen. Harapan lainnya ia ingin Muso Salim bisa dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Karena jasa-jasanya berjuang mengusir penjajah di tanah Kalimantan melalui perang gerilya hingga Kalsel.

Lagi-lagi waktu berlalu begitu cepat. Kami harus melanjutkan perjalanan. Pukul 10.37 Wita, kapal kami bergerak meninggalkan dermaga. Raga kami memang menjauh. Namun, jejak sejarah dan perjuangan ini akan terus melekat sepanjang perjalanan. (bersambung)