Samarinda, reviewsatu.com – Toko buku Gunung Agung di Jakarta mengumumkan tutup Mei lalu. Alarm waspada bagi industri perbukuan. Tapi, benarkah penutupan itu akibat dari menurunnya minat baca?
Reporter: Salasmita.
Indon, warga Muara Badak, Kukar, berdiri di etalase buku di Gramedia Samarinda. Matanya bolak balik ke kanan dan ke kiri melihat-lihatnya banyaknya buku tersusun rapi. Di salah satu sudut, ia memilih satu di antaranya untuk dibeli.
“Sekarang harga buku enggak kayak dulu,” keluh Indon.
Dulu, beberapa tahun sebelumnya, cukup Rp 100 ribu saja dirinya bisa membeli 2 hingga 3 buku. Tapi sekarang cuma satu yang bisa ia bayar. Harga buku semakin naik. Begitu keluhannya.
Naiknya harga buku konon juga disinyalir menjadi pemicu menurunnya jumlah pembelian. Ya, industri perbukuan di Kaltim sendiri masih terbilang kembang kempis. Dari data yang didapat tim redaksi, entitas penerbitan buku di Kaltim termasuk rendah di Kalimantan. Rata-rata hanya 36 buku per tahun yang diterbitkan oleh penerbitan lokal. Masih Kalah dengan Kalbar (59 buku per tahun) dan Kalsel (50 buku per tahun). Kalteng dan Kaltara juga termasuk rendah. Dimana masing-masing hanya menerbitkan 20 buku dan 3 buku per tahun.
Bagi Wakil Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian ini merupakan warning. Dia menuturkan minat membaca di Indonesia memang rendah. Tapi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Ada yang senang membaca, tapi bahan bacaan yang menarik justru terbatas. Ditambah lagi entitas penerbit di lingkup lokal khususnya Kaltim masih rendah.
“Mungkin iklim untuk menyebarluaskan (buku,red) rendah karena kurangnya insentif bagi penulis,” tutur Hetifah.
Dia berkata pernah ada salah satu penerbit buku di Balikpapan Utara yang gulung tikar karena sepinya pembeli. Padahal usaha penerbitan juga merupakan bagian dari industri ekonomi kreatif. Untuk mengubah ini, sistemnya perlu diubah. Dibuatlah UU 3/2017 tentang sistem perbukuan. Harapannya regulasi ini bisa mengatur sistem perbukuan agar lebih kondusif. Sehingga masyarakat tertarik membuat buku yang bermutu. Disamping juga mendapat akses untuk memerolehnya.
“Arah kebijakan politik nasional terkait perbukuan banyak hadapi masalah. Dari monopoli soal kertas dan lain-lain. Itu yang bikin buku di Indonesia lebih mahal,” sebutnya.
Kru redaksi pun mencoba menelusuri sejumlah toko buku di Samarinda. Di antaranya toko buku Aziz dan Gramedia. Keduanya terbukti mampu bertahan lebih dari satu dekade. Toko buku Aziz sendiri saat ini sudah memiliki sekitar tujuh gerai. Di antaranya di Pasar Pagi, Citra Niaga, Mal Lembuswana, Jalan KH Wahid Hasyim, Jalan Abul Hasan, lalu di Samarinda Seberang dan Palaran. Sayang manajemen toko justru enggan diwawancara. Pun demikian dengan manajemen Gramedia.
Musuh Bernama Buku Ilegal Digital
Pegiat literasi sekaligus penulis buku, Muhammad Sarip memiliki pandangan soal ini. Faktor penyebab toko buku bisa modar banyak. Mulai dari kemudahan informasi melalui internet hingga fenomena penerbitan buku yang tak berorientasi pada publik. Baginya cukup masuk akal jika toko buku besar bisa tutup. Minat baca yang menurun ditambah banyaknya informasi digital yang murah dan mudah diakses dituding menjadi penyebab. Itu alasannya masyarakat ogah membeli buku fisik dengan harga yang tidak murah.

Pria yang pernah menerima piagam penghargaan sebagai tokoh pegiat literasi oleh Pemkot Samarinda ini juga berpandangan keberadaan video ringkas juga berpengaruh. Maksudnya beberapa buku-buku tebal ada yang sudah diringkas dalam bentuk slide pendek atau video, sehingga minat untuk membaca menjadi kurang.
“Internet yang murah, disebarnya informasi publik melalui sosial media dalam bentuk ringkasan dari buku, membuat sebagian orang malas membaca buku itu sendiri. Karena apa yang ingin mereka ketahui sudah muncul di layar handphone mereka,” ujar Sarip ketika disambangi di kantor penerbitan Pustaka Horizon.
Belum lagi keberadaan buku digital ilegal atau bajakan, semakin memperparah kondisi perindustrian toko buku. Meskipun toko buku fisik diintai ancaman kebangkrutan, Sarip yang juga berkutat di industri penerbitan buku ini mengatakan bahwa bisnis ini masih tergolong stabil. Hal ini karena adanya ketentuan dari lembaga pendidikan atau akademi yang mewajibkan guru, dosen atau mahasiswanya yang menerbitkan buku.
“Mereka harus menerbitkan buku sebagai syarat mendapatkan poin untuk kenaikan pangkat atau pun syarat ujian disertasi. Kalau dari situ, industri penerbitan bisa bertahan,” terang pria yang lebih sering terlihat menggunakan masker tersebut.
Yang menjadi problem terkait dengan adanya tuntutan menelurkan buku tersebut adalah tidak adanya orientasi mendistribusikannya secara luas ke publik. Sehingga buku yang dihasilkan terkesan formalitas belaka dan hanya sekedar terbit. Sarip pun mencoba menarik benang merah. Minat baca sesungguhnya tidak terlalu berkurang. Tapi keberadaan buku ilegal dalam bentuk pdf dan sejenisnya justru berimbas kepada pembelian buku bacaan. (sal/boy)
Grafis entitas penerbitan buku di Kalimantan 2018-2023
Provinsi | Entitas | Rata-rata buku per tahun |
Kalbar | 335 | 59 |
Kalsel | 287 | 50 |
Kaltim | 233 | 36 |
Kalteng | 118 | 26 |
Kaltara | 28 | 3 |