1997 akhir, usai musim kemarau. Sejumlah penduduk Suku Dayak Apokayan bermigrasi melalui sungai. Awal 1998, mereka resmi menapakkan kaki di tempat baru. Desa Lekaq Kidau namanya.
Baharunsyah, Samarinda.
12.18 Wita, posisi matahari tepat sejajar di atas kepala. Keringat mulai mengucur ramai usai keluar dari Museum Mulawarman kemudian berjalan kaki menuju dermaga. Nakhoda mulai memacu mesin melawan derasnya arus dari hulu. Ketua tim rombongan, Edy Gunawan menyampaikan Desa Lekaq Kidau merupakan destinasi berikutnya. Katanya dulu desa ini lumayan ramai oleh pengunjung di awal 2000an. Mantan bupati Kukar mendiang HR Syaukani sempat menjadikannya sebagai desa wisata budaya.
Tapi semua itu berubah. Beberapa penduduknya memilih hijrah ke Samarinda karena alasan tertentu. Menempati lokasi baru yang kini bernama Pampang. Walhasil, keberadaan desa ini semakin terlupakan. Kalah pamor dengan Pampang.
Pukul 15.40 Wita kapal kami akhirnya menepi di Desa Budaya Lekaq Kidau. Beberapa warga setempat menyambut. Salah satunya seorang bocah. Usianya kira-kira 8-9 tahun. Namanya Alfaro. Di sini ia dipanggil Ngerung. Rupanya ia merupakan perantauan dari Samarinda kemudian pindah ke Kutim, baru menetap di desa ini bersama orang tuanya.
Jalanan di Lekaq Kidau sudah mulai di cor semen sebagian besar. Rumah warganya juga dominan berbentuk panggung. Kami melihat beberapa areal persawahan yang kering, termasuk pula lahan pertanian palawija penduduk setempat.
Tetesan air mulai berjatuhan dari langit menyambut para rombongan. Kami pun bergegas mengambil langkah seribu demi menghindari pakaian kebasahan. Kami berjalan menuju sebuah aula serba guna atau tempat biasanya diselenggarakan acara-acara besar.
Ornamen khas Suku Dayak begitu kental tergambar. Mulai dari ukiran yang terpahat di kayu sampai gambar-gambar lainnya. Kepala Desa Lekaq Kidau Dium sudah duduk bersama Kepala Adat Kuweng di tengah-tengah aula, berdampingan bersama Edy Gunawan, ketua tim rombongan kami.
Awalnya kami disambut oleh tarian Datun Yulud Burung Enggang. Penarinya terlihat lebih tua. Lalu Disusul tarian Denak Lasen. Penarinya kali ini jauh lebih muda. Bahkan kata Dium, mayoritas penarinya adalah remaja. Dium bilang kalau mereka yang bermukim di Lekaq Kidau masih satu kesatuan dengan Suku Dayak Kenyah yang ada di Pampang, Samarinda.
Penduduknya saat 1998 dulu hampir sekitar 1.500 orang. Tapi rumah mereka masih belum tertata. Ada yang tinggal di bangunan dengan atap terpal. Isinya bisa sampai tiga kepala keluarga. Bahkan dulu desa ini namanya bukanlah Lekaq Kidau. Tapi Danai Indah. Danai adalah Bahasa daerah setempat yang berarti takjub atau menaruh hati kepada lelaki atau perempuan yang muda dan cakep.
Hari demi hari terus berjalan. Bulan demi bulan berganti. Tahun pun kian berubah. Karena jumlah penduduk makin ramai, para tetua adat berkumpul. Berembug mereka. Nama Danai Indah mesti berubah. Jadilah Lekaq Kidau. Lekaq berarti dataran, sementara Kidau sejenis tumbuhan yang hanya tumbuh di dataran subur.
“Jadi Lekaq Kidau berarti dataran yang subur,” beber Dium. “Tapi kok malah enggak subur,” ia buru-buru menimpal dengan bercanda.
Mimpi untuk mendapat kesejahtaraan nyatanya jauh dari kenyataan. Beberapa penduduk memilih meninggalkan Lekaq Kidau karena bingung tidak mendapat pekerjaan. Dari situlah migrasi besar-besaran bermula. Ada yang pergi ke Hulu Mahakam dan lainnya.
Alhasil, jumlah KK di sini tinggal 147, dengan jumlah penduduk sekitar 600 jiwa. Cuma menyisakan beberapa sub suku dayak yang bermukim. Seperti Suku Bakung, Mak Jalan, Umak Lasan. Di luar Dayak Kenyah ada suku Banjar, Bugis, Jawa, Timor dan Kutai.
“Mayoritas kami 90 persennya adalah petani, 10 persennya guru atau PNS. Kami bukan petani sukses, tapi bertani untuk hidup hari ini dan makan besok.”
Bentuk rumah adat serta ornamen-ornamen dayak yang masih terawat, itulah yang membuat desa ini istimewa. Bahkan beberapa remaja perempuannya pun membuat salah satu kru media iNews TV yang ikut serta tidak bisa melepaskan pandangan untuk terus menjepret menggunakan kameranya.
Maka wajar jika tempat ini disematkan sebagai desa wisata. Meski pun jumlah kunjungannya tidak menentu. Ada namun tidak banyak. Pernah ada sejumlah turis asing dari Jepang hendak datang, namun mengurungkan niatnya. Usut punya usut, mereka tidak berani menyeberang menggunakan kapal penyeberangan.
“Yang datang ada dari Taiwan, Belanda, Korea. Yang dari Jepang pakai kapal dari ilir. Mereka enggak berani datang karena takut menyeberang,” ulas Dium yang sore itu mengenakan penutup kepala dengan ukiran manik.
Pembicaraan kami terpaksa terhenti. Matahari mulai menunjukkan tanda-tanda hendak beralih ke ufuk barat. Kami harus segera sampai ke rute selanjutnya sebelum malam. Rombongan pun berpamitan dengan Dium dan Kuweng, sang kepala adat yang begitu tua. Bahkan untuk berdiri pun ia harus dibantu tongkat. Tidak lupa pula dengan beberapa penduduk setempat.
Rintik sudah berhenti. Rombongan memasuki kapal dengan perlahan untuk rute pelayaran berikutnya. Di kapal, saya duduk di buritan paling depan. Bersama rekan media Kaltim Post, Ridhuan dan iNews TV, Rizki. Bertiga menikmati syahdunya senja dan tenangnya arus mahakam. (bersambung)