Jelang Pemilu Carut Marut Data Pemilih Harus Selesai

Pemilu
Komisioner Bawaslu Kaltim Galeh Akbar Tanjung (dua kanan) saat mengisi ngabuburit pemilu, Kamis (6/4/2023) sore. (istimewa)

Samarinda, reviewsatu.com – Semua Warga Negara Indonesia (WNI) punya hak untuk memilih, termasuk yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sayangnya carut marut hak pilih selalu menjadi persoalan dari pemilu ke pemilu.

Agar hak pilih WNI itu terakomodasi, maka dilakukan proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Tujuannya dalam rangka pemutakhiran data pemilih. Demikian diutarakan Komisioner Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Kaltim Galeh Akbar Tanjung. Ia mencontohkan kasus di Balikpapan. Dimana dalam proses coklit ada masyarakat yang tidak memilki KTP. Meski begitu mereka tetap punya hak pilih. Bawaslu pun meminta panwascam berkoordinasi dengan kecamatan untuk membuatkan mereka identitas kependudukan.

“Mereka ada pengecualian, bisa menggunakan hak pilhi setelah satu jam sesuai jadwal pemilih. Atau dikatakan sebagia pemilih khusus,” kata Galeh ketika menjadi pemateri Ngabuburit Pemilu, Kamis (6/4/2023).

Para pemilh khusus ini sendiri banyak jenisnya. Salah satunya adalah penyandang disabilitas. Keberadaan mereka tetap harus terdata. Persoalan nantinya akan datang ke TPS atau tidak, itu urusan lain.

“Karena kita tidak boleh memandang identitas warga manapun, tetap harus akomodasi yang punya keterbatasan.”

Kasus lain adalah adanya pantarlih yang lakukan coklit di atas meja. Maksudnya tidak turun ke lapangan untuk memastikan langsung. Biasanya dilakukan oleh pantarlih yang berstatus tokoh masyarakat. Pantarlih ini menganggap sudah mengetahui seluk beluk warga yang berada di lingkungan tempat tinggal mereka. Padahal esensi coklit adala turun ke rumah warga dan kemudian menempel stiker.

“Ada banyak anggapan pantarlih terkait pmasangan stiker adalah hal yang remeh, padahal itu harus dipatuhi. Saat ini untuk ketahui rumah sudah di coklit atau belum adalah dengan stiker.”

Ada lagi kasus yang melibatkan pantarlih di Mahulu. Kali ini melibatkan perbedaan data dengan sistem. Geleh menyebut terdapat 8-9 TPS yang jumlah pemilihnya berbeda saat penetapan. Pemicunya adalah perbedaan data antara hasil manual oleh pantarlih dengan sistem yang dimliki KPU dan PPS. Galeh berpandangan data yang valid adalah manual dari pantarlih. Ketika data sudah murni di pantarlih, barulah diinput di sistem. Sehingga di sistem sudah termasuk data yang dimutakhirkan.

“Tapi masih ada selisih, kerja pantarlih dengan sistem. Kami ingatkan kawan-kawan di KPU, kita akan tetap mengacu pada alat kerja yang diisi oleh pantarlih, bukan yagn berada dalam sistem si galih. Karena data pantarlih adalah data mutakhir,” pungkasnya.

Carut marut hak pilih juga diutarakan Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Universitas Jayabaya Erik Kurniawan. Ia menyebut 24 persen kabupaten/kota di Indonesia berpotensi bermasalah dengan DPT pada pemilu 2024 nanti.

“Tidak ada satu pun daerah di Indonesia yang DPT-nya aman atau tingkat kerawananya rendah. Itu mapping IKP (Indeks Kerawanan Pemilu),” tegasnya.

Singkatnya menurutnya hampir seluruh daerah di Indonesia pasti bermasalah dengan DPT. Kejadian ini pun terus terjadi setiap kali pemilu bergulir. Ia memfokuskan pada daftar pemilih khusus (DPK) yang kurang mendapat perhatian.  

Erik berkaca pada pemilu 2019 lalu, dimana ada sekitar 5,8 juta pemilih khusus di Indonesia. Untungnya undang-undang masih mengakomdasi mereka dengan bisa memilih pada pukul 12.00-13.00 atau setelah TPS ditutup. Nah, untuk di Kaltim justru memiliki akurasi DPT yang rendah, kurang dari 95 persen.

“Kutai Timur bahkan memiliki jumlah pemilih khusus mencapai 10,78 persen. Jumlah pemilih pindahan juga termasuk tinggi, mencapai 2,93 persen,” paparnya.

Potensi pemilih pindahan di pemilu lanjutnya juga besar. Sebesar 3 persen. Bawaslu harus lakukan langkah mitigasi. Katanya ada 3.652 data perekaman di 2022 yang tidak bisa mendapat KTP-el. Bawaslu pun harus bisa memastikan agar mereka bisa mendapatkan KTP-el.

Adapun total persentase pemilih pindahan dan tambahan mencapai 181.090 orang atau 8,42 persen. Nilai ini terbilang rawan untuk mereka yang masuk dalam kategori pemilih khusus. Pasalnya surat suara tambahan hanya diberi sebanyak 2 persen.

“Ini kalau menumpuk di satu wilyah saja akan jadi problem, karena bisa jadi surat suara kurang. Ini harus dicermati Bawaslu untuk memastikan program pemutakhiran data bisa memuat DPK,” saran Eka. (boy)