Saatnya Memutus Mata Rantai Kekerasan di Pondok Pesantren

pesantren
ilustrasi kekerasan terhadap santri.

Samarinda, reviewsatu.com – Hanya rentang seminggu, pondok pesantren di Samarinda berujung pada tragedi. Kepalan tangan, injakan kaki, hingga ayunan benda tumpul menjadi menjadi lumrah ditimpakan dengan dalih menerapkan disiplin.

Reporter: Yasinta, Baharunsyah

Tragedi pertama tahun ini terjadi di salah satu pondok pesantren di kawasan Bengkuring. Sabtu (18/2/203), 40 menit jelang azan magrib, seorang santri senior berinisial AF (20)  berjalan cepat sambil mengepalkan tangan, mengayunkannnya ke kepala dan punggung AR (13), santri junior dengan emosi yang membuncah. AR yang tengah duduk bersila kaget dengan serangan mendadak itu.

Ia tersungkur ke tanah. Empat kawan AR yang duduk bersamanya tidak menduga akan menyaksikan kejadian tak terlupakan tersebut. Rupanya setan dalam diri AF terlanjur berkuasa. Ia tidak puas. AF membangunkan AR dan kembali meghunjam pukulan. Kali ini tepat mengenai ulu hatinya. AR jatuh lagi. Setan kembali mendominasi akal sehat AF. Ia mempermalukan AF dengan menyiram air kemasan dalam gelas. Setelah disiram mendadak keluar lendir dari hidung dan busa dari mulut AR.

Tragedi selanjutnya terjadi di ponpes di kawasan Jalan Jakarta, Kamis (9/3/2023). Sang guru berinisial ZH awalnya berniat menasehati ketiga muridnya karena dicurigai mencuri. Karena terus berulang, ZH berang. Dengan nawaitu memberikan efek jera, ia panggil ketiganya.

Satu anak dipukul menggunakan rotan, diinjak dan dibenturkan kepalanya ke tembok hingga lebam. Anak selanjutnya dicambuk dengan rotan dan disiram air panas ke arah muka oleh tersangka. Sementara anak yang lain dipukul menggunakan rotan serta ditampar kepalanya oleh terlapor. Berdasarkan pengakuan ZH, sebelumnya dia tidak pernah melakukan tindak kekerasan tersebut. Biasanya ia cuma menghukum dengan menyuruh sang anak membersihkan kamar mandi.

Baca juga: Tragedi di Ponpes, Santri Senior Aniaya Junior Hingga Tewas

Tindakan kekerasan di pondok pesantren sebenarnya bak buah simalakama. Di satu sisi tujuannya ingin memberi efek jera. Tapi di lain hal justru dianggap berlebihan. Bayu Satriya, pengurus Yayasan Ponpes Terpadu Al Munawaroh Tenggarong membeber metode pendisiplinan di dalam pondok tersebut. Di dalamnya biasanya terdapat lurah pondok. Mereka ini berisi para santri senior dengan job desk berbeda. Ada yang mengurus keamanan dan lainnya. Lurah pondok diberi kewenangan untuk mengatur situasi.

“Ketika lurah pondok dikasih amanat ya harus dibekali aturan, kalau tidak dibekali mereka akan menghukum sesuai kemauan mereka,” katanya.

Aturan itu beragam. Memang kadang ada yang berkaitan dengan hukuman fisik. Seperti memukul bokong dengan rotan. Tapi itu pun tidak boleh secara keras. Temasuk sanksi fisik lainnya. Namun tidak boleh sampai menyentuh organ vital. Bayu pun mengakui penerapan sanksi fisik pasti menuai pro dan kontra. Terutama orang tua yang sudah terlanjur menitipkan anak mereka.

“Ada tamparan, tapi orang tua sekarang lebih sering protes. Tapi ada juga yang anaknya diserahkan sepenuhnya dan bilang, udah nda papa pak kyai, kalau memang perlu di hukum ya hukum, omeli ya omeli.”

Jika penerapan aturan sanksi itu dinilai berlebihan, atau melanggar aturan pesantren, maka pihak yayasan berhak menghukum santri atau pihak tersebut. Orang tua juga sedari awal sudah diberi pemahaman. Bahwa kalau anaknya melakukan pelanggaran maka siap-siap diberi sanksi sesuai aturan pesantren.

“Kalau orang tua keberatan ya silakan ambil kembali anak mereka. Yang jelas sejak awal sudah diberi pemahaman seperti itu,” tukasnya.

Pro Kontra Sanksi Fisik

Metode pendidikan di ponpes memang tidak sama dengan lembaga sekolah formal. Sekolah formal biasanya hanya memiliki waktu maksimal hingga pukul lima sore. Sementara pesantren 24 jam. Dalam kondisi itu, pihak pengajar energinya akan banyak terkuras. Demikian kata Rektor Universitas Islam Negeri Aji Muhammad Idris Samarinda Mukhammad Ilyasin. Dengan tuntutan demikian maka bisa jadi kondisi emosional para santri menjadi labil. Termasuk pengajar atau ustaz yang juga mengajar sedari pagi.

“Sehingga ketika terjadi kekerasan itu bisa jadi akumulasi berbagai persoalan,” sebutnya.  

Ilyas mengutarakan salah satu cara untuk meminimalisasi hal itu terjadi adalah penguatan mental dan spiritual santri serta ustaz. Alasannya ketika di dalam pondok, kalau tidak siap mental dan spiritual, kondisi psikologi pasti terganggu. Karenanya saat seleksi calon pengajar, hal pertama yang mesti ditekankan adalah mentalitas.

“Kadang-kadang ya, anak ini sudah capek, lelah, terus dikasari, mereka malah tambah kasar. Psikologi anak juga harus diperhatikan,” sarannya.  

Berbeda dengan Ilyas, Anggota Komisi IV DPRD Kaltim Salehuddin justru lebih tegas.  Ia mengatakan seharusnya pondok pesantren memiliki pengawasan yang cukup ketat. Karena tanpa pengawasan yang baik maka dapat menghadirkan situasi yang membahayakan. Saleh meminta Kementerian Agama segera membuat regulasi. Dimana nantinya regulasi ini diharapkan bisa mencegah agar tidak lagi terdengar kekerasan pada lingkungan pondok.

“Kemenag termasuk Kanwil punya tanggung jawab bagaimana langkah mencegah tindak kekerasan,” ungkapnya.

Tidak hanya itu. Pengelola pesantren juga mempunyai tanggung jawab untuk membina. Saleh menambahkan Kemenag seharusnya punya tanggung jawab memberikan pembinaan, sosialisasi bahkan regulasi yang jelas. Ia menekankan kasus seperti ini harus diatasi sampai tuntas. Bukan hanya pada kekerasan fisik namun juga pada kekerasan seksual. Kasus ini baginya diam-diam tapi mematikan.

Kemenag Sudah Bersurat

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Kaltim Abdul Khaliq sedang mengemudikan roda empatnya di tol Samarinda-Balikpapan. Ia mengambil seluler kemudian menghubungi awak media ini. Khaliq katakan ia prihatin terhadap kasus kekerasan di dalam ponpes yang kini terjadi.

Ia bilang sudah membuat surat edaran untuk seluruh ponpes di Bumi Etam. Isinya adalah imbauan agar jangan sampai terjadi tindak kekerasan kepada santri. Kemenag akunya rutin lakukan pengawasan kepada lembaga pendidikan tersebut. Mulai dari sistem pembelajaran, kurikulum sampai perizinannya.

“Kami sampaikan juga bahwa anak-anak itu merupakan tanggung jawab masing-masing lembaga pendidikan. Kami tidak mungkin bisa mengawasi sampai sedetail itu, makanya kami serahkan sepenuhunya pembinaan dan sebagainya ke masing-masing lembaga,” jelas Khaliq.

Baca juga: Kasus Kekerasan di Pondok Pesantren, Salehuddin: Kemenag Harus Turun Tangan

Tapi surat itu tidak berisi sanksi. Cuma arahan agar setiap lembaga menjalankan fungsi pendidikannya sesuai aturan. Termasuk juga tidak memberikan skoring atau penilaian lembaga pendidikan bersangkutan. Itu tidak ada.

“Belum ada (skoring,red),” sahutnya.

Alasannya tidak semua ponpes mengantongi izin. Ada yang masih berproses, ada pula yang sudah. Nah, untuk yang sudah berizin ini barulah Kemenag bisa mengawasi. Kalau pun ada persoalan, itu akan ditangani oleh bidang terkait. Kemenag biasanya akan mengecek dulu lalu mengambil tindakan jika itu diperlukan. Sejauh ini katanya belum ada sanksi tertentu yang diberikan kepada lembaga pendidikan.

Sementara untuk ponpes yang berproses mendapat izin, biasanya Kemenag hanya sampaikan persyaratan untuk dipenuhi. Seperti harus memiliki masjid, asrama, terdapat kyai, punya kitab untuk dipelajari dan ada tempat belajar.  

“Yang terjadi sekarang ini kami turut prihatin, kami berharap kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” pungkasnya. (dey/boy)