UTAMA  

2026 Samarinda Bebas Tambang, RTRW Jadi Kunci

tambang
Wali Kota Samarinda Andi Harun optimistis 2026 mendatang sudah tidak ada lagi zona pertambangan di Kota Tepian. (Sammy)

Samarinda, reviewsatu.com – Ambisi Samarinda bebas dari tambang batubara 2026 tidak semudah menulis di atas kertas. Masih ada ganjalan yang harus dilalui untuk mencapainya.

Samarinda sendiri punya sejarah kelam dengan dunia pertambangan. Lingkungan babak belur akibat industri ini. Kota dikepung banjir setiap kali hujan mengguyur. Dari data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, jumlah lubang tambang di Kota Tepian meningkat tajam pada 2014 hingga 2018 lalu. 2014 angkanya mencapai 232 lubang. 2018 melonjak menjadi 349 lubang.  Kawasan pertambangan bahkan sudah menutupi 67,5 persen wilayah Samarinda. Jumlah konsesi tambang mencapai 54 konsesi dengan total luasan mencapai 48.884 hektare.

Sejumlah catatan hitam tersebut membuat Pemkot Samarinda berbenah. Maka digagaslah zona bebas tambang 2026. Demikian kata Wali Kota Samarinda Andi Harun. Untuk mencapai itu Pemkot butuh dasar. Yakni melalui perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang baru saja disahkan di DPRD Februari lalu. Bahkan AH menuturkan keberadaan perda ini sangat vital guna memuluskan langkah tersebut.

Meski pun dalam pengesahannya dilalui dengan dinamika. Cuma tiga fraksi yang sepakat. Yaitu Gerindra, NasDem dan PAN. Sisanya lima fraksi di Basuki Rahmat enggan menyetujui. Tapi AH tetap bersikeras. Pasalnya, RTRW secara substansi sudah disetujui di Kementerian ATR/BPN pada September 2022 lalu. Sehingga pengesahan di DPRD hanya tindak lanjut secara legal formal.

“Memang ada yang coba memerlambat tetapi itu adalah oknum dewan. Saya bilang ngapain kita ribut-ribut, ini hanya sebatas kertas,” singgung AH. Dalih persetujuan dari Kementerian itulah yang membuat ia tetap melanjutkan pengesahan perda RTRW.  

Memang Samarinda berbeda dengan Balikpapan. Kota Beriman hanya bermodal SK wali kota, tanpa didukung adanya perda. AH menambahkan dengan tidak adanya peta kawasan pertambangan dalam RTRW, otomatis seluruh izin yang ada ketika akan beroperasi akan tertolak.

“Jadi RTRW ini sudah bisa jadi acuan terhadap seluruh aktivitas perekonomian daerah,” tuturnya.

Ia juga mengklaim dalam RTRW tidak ada klaster tambang. Yang ada adalah kawasan industri, perdagangan hingga permukiman. Ya, Kota Tepian memang tidak seharusnya menggantungkan PAD dari pertambangan. Bagaimana langkah-langkahnya? Tidak bisa langsung. Pasalnya masih ada PKP2B yang izin operasinya hingga 2034.

Baca Juga  Ternyata Ini Alasan Mahasiswa UI Jadi Tersangka Meski Sudah Meninggal

Beberapa PKP2B itu di antaranya Multi Harapan Utama (MHU) yang beroperasi di Palaran dengan izin hingga 2032. Kemudian Lana Harita beroperasi di Samarinda Utara dan Sambutan dengan izin hingga 2031, lalu Mahakam Sumber Jaya (MSJ) beroperasi Samarinda Utara dengan izin hingga 2034. Dan terakhir Insani Bara Perkasa  yang beroperasi di Palaran dengan izin hingga 2036. Soal PKP2B ini menjadi ranah dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Lalu ada sekitar 20 izin usaha pertambangan (IUP) yang disebut-sebut kontraknya rata-rata habis hingga 2026. Di sini peluang pemkot. Usulan perpanjangan izin akan mendapat lampu merah. Alias kontrak habis, operasi wajib setop sama sekali. Pemkot tidak akan merestui perpanjangan izin. Karena hal itu sudah melanggar Perda RTRW. Jika masih beroperasi maka statusnya adalah ilegal. Apalagi untuk pengurusan izinnya harus melalui sistem OSS secara online.  

“Nanti langsung terblok oleh sistem,” sebutnya.

Berkaca pada hal itu AH pun optimistis. Siapa pun wali kota mendatang, Samarinda harus bebas dari tambang.

“Saya dukung gagasan kota samarinda bebas tambang,” tegas Pradarma Rupang, mantan dinamisator Jatam Kaltim.

Tapi bukan berarti tanpa cela. Darma mengutarakan masih ada izin tambang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang baru habis pada 2030. Fakta ini berbanding terbalik dengan ambisi bebas tambang 2026. Kondisi ini harus menjadi perhatian Pemkot Samarinda. Dengan tegas Darma menyebut bahwa kawasan bebas tambang 2026 jangan sampai menjadi jargon politik semata.

Anggota panitia khusus (Pansus) RTRW Kaltim Rusman Yaqub juga mengutarakan hal serupa. walau pun kondisinya dinilai terlambat. Rusman berbagi pengalaman kala dirinya masih menjabat sebagai anggota DPRD Samarinda medio 2002 silam. Kala itu ia tergabung dalam pansus pertambangan dan merekomendasikan agar jangan ada perpanjanga izin pertambangan.

“(Tahun) 2002 baru delapan (IUP,red). Yang terjadi mendekati pilkada jadi 28 (IUP). Ketika 2004 enggak tahu lagi sudah,” sebutnya.  

Rusman yang juga politisi PPP dari dapil Samarinda ini termasuk yang tegas menolak keberadaan pertambangan batu bara di dalam kota. Efek sosial dan lingkungannya tidak sebanding dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Uang daerah hanya habis untuk melakukan perbaikan gara-gara kerusakan yang ditimbulkan. Menurutnya harus ada data konkret bahwa produksi tambang juga sebanding dengan biaya perbaikan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.

Baca Juga  Bapak Mario Dandy, Rafael Alun Trisambodo Mundur dari Jabatan di Dirjen Pajak

“Sebanding enggak dengan risiko yang ditanggung, betulkah batu bara itu berikan kesejahteraan kepada rakyat Samarinda secara jangka panjang.”   

Secara hitung-hitungan ekonomi pun Samarinda tidak cocok menjadikan pertambangan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Penegasan itu diutarakan Pengamat Ekonomi Unmul Haerul Anwar. Codi, sapaannya, juga punya pengalaman mengejutkan tentang emas hitam ini. Ia sempat mengkaji RTRW Samarinda. Codi heran. Dalam RTRW ada pembagian wilayah untuk industri kelapa sawit dan tambang.

“Samarinda enggak perlu tambang, Samarinda tetap hidup karena duit mengalir ke sini. Itu kenapa Samarinda ini berjaya dari sektor jasa dan perdagangan,” tegasnya.

Justru kabupaten/kota lain di Kaltim yang ‘membutuhkan’ pertambangan untuk menopang APBD mereka. Contohnya Kutai Timur yang masih bergantung pada perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC). Kemudian di Kukar dengan banyaknya IUP dan PKP2B yang masih beroperasi. Kota besar lanjutnya justru menjadi hub atau pusat. Dimana daerah satu dengan yang lain akan singgah di sana. Idealnya Samarinda ya seperti itu. Karena itu ia akan aneh kalau pusat kota masih fokus pada pertambangan. Pemkot Samarinda sebaiknay fokus untuk mengembangkan sumber daya manusia. Ia katakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Samarinda termasuk tertinggi di Kaltim.

“Artinya banyak orang pintar di Samarinda. Menambang itu padat modal, cuma sedikit orang terlibat, sehingga tidak butuh orang pintar.”

Koordinator kelompok kerja (Pokja) 30 Buyung Marajo senada. Pertambangan hanya membebani APBD. Fasilitas umum rusak. Termasuk ruang hidup masyarakat. Bahkan nyawa ikut melayang. Tidak lekang di ingatan sudah 23 nyawa raib gara-gara lubang bekas tambang yang menganga lebar di Samarinda. Pemerintah katanya seakan abai, tidak pernah lakukan mitigasi atau pencegahan. Yang menjadi catatannya kini adalah keselarasan zonasi bebang tambang 2026 Samarinda dengan RTRW Kaltim.

“Apakah ini klop,” tegas Buyung. (boy)