Novel berjudul Obor adalah cerita fiksi karya Pemimpin Redaksi reviewsatu.com. Novel ini bergenre crime, thriller, mystery, politic dan mature reader karena menggunakan beberapa bahasa yang dikhususkan untuk pembaca dewasa.
Empat orang lelaki berpakaian kasual turun dari mini bus. Mereka berpencar, berbaur dengan ratusan manusia dalam sebuah mal. Hiruk pikuk suara menjadi penanda bahwa tempat ini tidak pernah sepi. Tempat ini juga sebuah simbol kebesaran kota karena termasuk mal termegah dan terbsesar. Tak ada yang bisa mendeteksi, kemana keempatnya berada. Semua terlihat sama. Merata dalam satu kerumunan.
“Delta satu sudah di posisi. Paket sudah ready.”
Rekan satunya juga memberikan laporan serupa.
“Delta dua di posisi, paket ready.” Delta tiga, delta empat memberikan laporan yang sama. Seorang operator dari dalam mini bus duduk di kursinya sambil menempelkan headphone di telinga. Matanya terpaku serius menyaksikan dua,tiga,empat layar sekaligus di hadapan yang masih berwarna hitam. Sesekali jarinya mengetik sesuatu di keyboard, mengklik mouse, mengganti setiap frame layar yang berisi dengan ratusan, bahkan ribuan manusia sambil menikmati sekotak martabak, kudapan yang banyak ditemui oleh penjual makanan di jalanan.
“Oke, tunggu sebentar,” katanya sambil meluweskan sepuluh jarinya di tuts keyboard dan makanan yang masi berjejal di mulut.
“Huhu hehentar hahi…”
“Sebaiknya selesaikan dulu makanmu baru bicara,” sahut si sopir yang melihatnya dari bangku depan.
“(Glek)Tunggu sebentar lagi, aku masih mencari persamaan beberapa kode biner agar bisa masuk ke dalam sistem. Sementara itu, dalam hitungan beberapa detik, tiga, dua, satu dan, binggo….”
Tak. Enter. Sistem berhasil diretas secara online. Si peretas kembali melanjutkan, “Baik para delta, kalian bisa masuk ke dalam dan, selamat berpesta.”
Salah satu agen dengan pakaian kaos santai dan celana jogger hitam serta ransel hitam menekan telinga dan mendengar aba-aba itu lalu berkata, “Delta satu masuk.”
Dan diikuti tiga agen lainnya. Mereka mengenakan pakaian yang berbeda-beda. Delta dua lebih uniform. Mengenakan kemeja putih dan celana jeans serta membawa koper layaknya bussines man yang sedang berlibur. Delta tiga sedikit lebih formal. Membawa tas berisi berkas dan dokumen dan pakaian coklat semi pegawai negeri dan berkacamata. Delta empat mengenakan kaos dan celana panjang hitam serta sepatu sport dan membawa ransel, menyerupai mahasiswa yang sedang jalan-jalan menghabiskan waktu. Keempatnya berhjalan menuju pintu masuk tanpa terdeteksi alat sensor dan kemudian berpencar.
Perintahnya jelas, keempat paket harus ditempatkan di lantai yang berbeda dan tempat yang sudah ditentukan. Tidak kurang tidak lebih.
“Sepertinya kamu menikmati seruput kopimu Delta satu,” kata si peretas.
“Kopi apa itu? Espreso, Kopi Luwak atau kopi sobek?” sambungnya dengan nada bercanda sambuil menyaksikan para agen dari balik layar.
“Itu ada adik-adik mahasiswa, sebaiknya kamu gombali dia. Masa diam saja sih kalah sama om-om. Sepi lo tempatnya ini.”
“Heh, heh, itu Iphone versi terbaru enggak niat mau beli.”
Sebua perintah kemudian terdengar dari mini earphone yang tersembuyni rapi di telinga, “Baik delta. Sekarang pergi keluar, berpencar dan kita ketemu di titik luar dan ingat, jangan meninggalkan sidik jari atau jejak apapun.”
“86,” keempatnya serempak menjawab.
Mereka keluar dengan cara berbeda. Ada yang memesan angkutan online, memesan taksi, berjalan kaki dan mengendarai mobil yang sudah terpakir. Si peretas kembali berkelit, “Beruntung sekali yang keluar pakai mobil. Enggak iri apa tiga teman mereka tadi.”
Si sopir hanya diam mendengarkan ocehannya dan fokus menunuggu instruksi kapan harus keluar. Drrrt, drrrt, sebuah ponsel bergetar bertulisan ‘tanpa nomor’. Itu ponsel si peretas. Itu aba-abanya. Pun dengan ponsel si sopir. Keduanya kini saling menatap dan, “Well, ini dia. Kita akhirnya akan tercatat sdalam sejarah sebagai kelompok perlawan melawan simbol kekuasan dan ketamakan di bangunan ini,” kata si peretas.
Ia menekan enter sambil berkata, “Salam revolusi,” dan kemudian, bum…bum…bum…bum. Ledakan terjadi empat kali sesuai rencana. Di lantai atas, lantai tengah, lantai bawah, dan terakhir basement. Dalam sekejap gedung luluh lantah, bangunan digdaya simbol kemewahan itu kini tersapu, menyatu dengan debu yang beterbangan di udara. Hanya tersisa puing-puing dan asap yang mengepul ke udara juga beberapa potong tangan dan bagian-bagian tubuh manusia yang tertimpa reruntuhan.
Semua kini sama. Manusia dan bangunan saling berciuman di atas tanah yang terlanjur rata. (*/bersambung)