Catatan Zainal Muttaqin
KAMIS SORE, 23-02-2023, saya mendarat di Bandar Udara (Bandara) Sultan Aji Muhammad Sulaiman Balikpapan. Selama ini dikenal sebagai Bandara Sepinggan. Pesawat yang saya tumpangi, Lion Air JT-757 dari Jakarta, terbang tepat waktu.
Saya sempat ngobrol dengan seseorang yang kerjanya memasarkan ruang-ruang kosong di Bandara kepada masyarakat luas. Kebanyakan yang tertarik adalah para penjual makanan dan minuman. “Pasca bencana covid, terasa sangat sulit menjual ruang-ruang kosong di Bandara,” katanya.
Covid memang telah meluluh-lantakkan bisnis di Bandara. Penumpang turun drastis. Setelah bencana covid sudah dinyatakan berlalu setahun yang lalu, sekarang suasana Bandara tampak terus menggeliat.
Tetapi trauma covid masih menghantui para pedagang yang pernah beraktivitas di Bandara. “Tidak mudah mengajak mereka kembali membuka gerai di Bandara,” kata kawan saya ngobrol itu.
Padahal banyaknya ruang yang disewa para pedagang di Bandara itu, sangat penting untuk membiayai operasional Bandara. Sementara semakin banyak saja bandara di negeri kita yang dibangun semakin besar dan semakin mewah. Tentu diperlukan semakin banyak pula biaya perawatannya.
Minimnya biaya perawatan itu bisa berdampak buruk bagi bandara. Ambil contoh di Terminal Bandara Juanda Surabaya, yang digunakan untuk penerbangan internasional. Semua penerbangan ke luar negeri lewat Surabaya, berangkat dari terminal 2 ini. Pun kedatangan dari luar negeri yang turun Surabaya, lewat terminal ini.
Dalam enam bulan terakhir ini saya tiga kali pergi pulang dari luar negeri lewat terminal 2 Juanda ini. Saya sempat dikejutkan oleh toilet yang airnya tidak mengalir di lantai satu terminal 2 Juanda itu. Tentu saja yang tampak adalah pemandangan jorok dan bau pesing. Saya sulit membayangkan ketika wisatawan asing mampir di toilet itu.
Terminal 2 bandara Juanda itu terpisah cukup jauh dari terminal satu. Di tempat yang berbeda. Ini juga yang bisa bikin biaya perawatannya semakin mahal.
Ada hal menarik yang saya saksikan ketika berkunjung ke Gold Coast, Australia. Itu daerah yang sangat ramai di benua kanguru itu. Terkenal dengan pantainya Surfer Paradise. Surganya para penggemar olahraga menantang ombak (surfing).
Terminal bandaranya boleh dibilang sederhana. Saya pernah mendarat di bandara itu ketika hujan lebat. Pesawat yang saya naiki dari Bali tidak dapat garbarata alias “belalai gajah”. Maka para penumpangnya turun disiapin payung di dekat tangga pesawat. Apalah artinya payung sebesar apapun, jika hujan lebat ketika itu disertai angin yang kencang. Walhasil, banyak penumpang yang basah kuyup.
Setibanya di terminal kedatangan bandara Gold Coast itu, kesan saya suananya seperti terminal lama bandara Sepinggan. Tetapi suasana di bandara Gold Coast itu sangat ramai. Bersamaan dengan pesawat saya dari Bali itu, mendarat pula beberapa pesawat dari negara lain. Di antaranya yang sempat saya lihat ada pesawat Thailand Thai Airways. Ada pula Emirates dan Jet Star. Restorannya pun ramai semua, terutama McDonald’s.
Negeri kita sudah terlanjur punya banyak terminal megah di banyak bandara kita. Entah seperti apa masa depannya jika tidak banyak pedagang yang menyewa ruang-ruang kosongnya. Semoga baik-baik saja. (zam).