Samarinda, reviewsatu.com – 3 kasus bunuh diri remaja terjadi selama periode Oktober 2025. 1 kasus terjadi di Sukabumi, Jawa Barat. 2 kasus lainnya di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Situasi ini tentu menuai pertanyaan. Kenapa kasus bunuh diri masih menerpa para remaja di Indonesia?
Berdasar data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang 2024 lalu, KPAI menerima 2.057 pengaduan, dimaan 954 kasus sudah ditindaklanjuti. Sementara kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2024 terdapat 573 kasus.
Untuk 2025, KPAI mencatat 25 anak di Indonesia terdata bunuh diri.
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyebut sebagian besar kasus itu dilatari oleh bullying atau perundungan. Termasuk yang terjadi di lingkungan sekolah.
Jumlah itu memang turun dibandingkan tahun 2023 yakni 46 kasus, dan pada 2024 sebanyak 43 kasus.
Lalu, kenapa ide untuk mengakhiri hidup muncul? Menurut para psikolog, ide atau pikiran bunuh diri tidak tiba-tiba muncul.
Aksi tersebut merupakan akumulasi dari pengalaman atau peristiwa negatif yang berlangsung dalam waktu lama. Sampai akhirnya ada upaya untuk mengakhiri hidup.
Rencana mengakhiri hidup memang terdengar ekstrem.
dalam kasus lebih ekstrem, Wahyu Nhira Utami, ahli psikologi klinis Samarinda pernah menerima pasien yang berniat bunuh diri.
“Banyak. Menyakiti diri sendiri dengan berbagai cara yang saya tidak terpikir itu sebelumnya.” Buruknya, sebagian besar dari pasiennya adalah anak muda.
Ya, anak muda di era modern kini lebih rentan. Alasannya rata-rata dari mereka tidak berani bicara. Bahkan ada yang menjadi korban dari didikan keras di lingkungan keluarga.
Saat hendak berkonsultasi ke psikolog justru dicerca oleh keluarga sendiri. Kuncinya dalam menghadapi penyakit mental adalah berani bicara.
Masyarakat juga tidak perlu khawatir bila ada keluarga mereka mendatangi psikolog untuk menangani persoalan mereka.
“Kamu enggak bisa terus menerus berusaha kuat hadapi semuanya sendirian. Ada satu momen kamu butuh bantuan, dan itu bukan suatu dosa, tapi itu suatu kebutuhan untuk diri kamu,” pesannya.
Sementara itu dikutip dari BBC news, menurut psikolog Retno Lelyani Dewi, anak pada usia 0-7 tahun belum memiliki kemampuan berpikir secara konkret. Mereka cenderung sulit memahami apa yang disebut kebahagiaan.
“Saat usia 0-7 tahun kalau ditanya, kamu bahagianya gimana? Dia bingung. Tapi kalau ditanya, mau kue? Dia pasti jawab mau atau tidak,” katanya, dikutip dari BBC news.
“Anak usia 7-11 tahun, juga kalau ditanya kamu bahagianya apa? Juga belum bisa menjawab. Seandainya ditanya kamu senangnya apa? Dijawab, mainan, misalnya.”
“Tapi begitu menginjak usia di atas 11 tahun, mereka mulai berpikir secara konkret dan memahami seperti apa perasaan mereka.”
“Anak-anak mulai tahu apa itu penderitaan, apa itu kebahagiaan, merasakan kesepian, terluka, merasa tidak dibutuhan,” papar Retno Lelyani Dewi.
Namun, pada fase tersebut, atau ketika perkembangan korteks prefrontal—bagian otak yang bertanggung jawab atas fungsi kognitif seperti pengambilan keputusan dan risiko—belum optimal, mereka kesulitan mengontrol emosi atau stres yang datang.
“Saat ada badai (emosi), tekanan stres, remaja seringkali mengambil tindakan yang kalau bahasa sederhananya, enggak pakai pikir panjang,” paparnya.
Hal senada juga diutarakan dosen psikologi Universitas Fort De Kock Bukittinggi, Fitri Yanti.
Fitri menjelaskan bahwa distres yang dialami oleh seorang remaja dapat terjadi saat adanya tekanan dari permasalahan keluarga seperti konflik antara ibu dan ayahnya.
“Selain itu, distres ini dapat terjadi ketika anak tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang mereka alami baik di sekolah atau di lingkungan lainnya,” kataya.
Dosen Fakultas Psikologi dari Universitas Pancasila, Aully Grashinta menerangkan ada beberapa faktor yang menyebabkan toleransi mereka terhadap stres sangat rendah hingga tersembul ide atau pikiran bunuh diri.
Kepribadian yang rentan
Pada remaja yang tidak mudah terbuka pada orang lain atau kerap menyelesaikan masalah sendirian, akan sangat rentan terhadap stres atau disebutnya tidak memiliki kesehatan mental yang baik.
Pola asuh atau didikan keluarga
Beberapa orang tua, ungkapnya, mendidik anak-anak mereka tanpa mengajarkan nilai-nilai pentingnya sebuah proses dan usaha.
Orang tua bahkan ada yang ingin agar anaknya tidak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Sehingga tidak membiasakan anak-anak mereka mengatasi atau memecahkan masalahnya sendiri.
“Jadi anak-anak ini tidak dibekali dengan baik bagaimana dia harus menyelesaikan masalahnya. Sehingga dilakukan lah, menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih cepat yaitu bunuh diri.”
Lingkungan dan media sosial
Perkembangan teknologi yang pesat dan pengaruh media sosial, kata Aully, mau tidak mau turut memengaruhi kepribadian anak-anak atau remaja saat ini.
Kemudahan memperoleh sesuatu tanpa diimbangi didikan soal pentingnya kerja keras membuat mental mereka rapuh.
“Generasi Z dan Alpha ini sangat berbeda dengan generasi Milenial atau X. Di mana ketika generasi Milenial kalau punya masalah, mereka harus mengupayakan suatu tindakan untuk bisa mendapatkan sesuatu,” jelas Aully Grashinta.
“Tapi karena teknologi, kecepatan informasi, kemudahan dalam mendapatkan sesuatu, pola itu berubah. Generasi Z dan Alpha menjadi impulsif. Ketika tidak mendapatkan apa yang diharapkan mudah kecewa.”
“Ini yang membuat mereka, sekarang, secara kesehatan mental tidak tangguh, tidak kuat, yang akhirnya bukan mencari solusi positif tapi lebih kepada hal-hal yang negatif, menyakiti diri sendiri,” paparnya.
Kondisi itu diperparah oleh gampangnya akses atau tayangan bermuatan bunuh diri.
Entah di media sosial atau media konvensional, tanpa dibarengi oleh edukasi dan pemahaman yang utuh bahwa tindakan tersebut bukanlah solusi yang tepat juga cepat dari pemecahan masalah.










