Saat Negara Gagal Tenangkan Warga

Oleh: Tri Romadhani

Serangkaian bencana hidrometereologi berupa banjir bandang menerjang sebagian Pulau Sumatera pada akhir November lalu, masyarakat di tiga provinsi; Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi korban paling terdampak. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 23 Desember 2025, ratusan ribu warga harus mengungsi, 1.125 orang meninggal dunia, sementara 176 lainnya dinyatakan hilang.

Ditengah bencana yang melanda warga, negara sudah sepatutnya hadir menjadi garda terdepan untuk melakukan penyelamatan korban, penangulangan, serta pemulihan pasca bencana. Dan memang, negara cukup cepat hadir dalam keadaan darurat, tapi belum sepenuhnya bertanggung jawab.

Kehadiran negara lebih banyak berupa bentuk reaktif atas terjadinya bencana. Pemberian bantuan logistik dasar seperti makanan, obat, tenda darurat yang menjadi kebutuhan mendesak sampai dengan cepat di para korban. Kita perlu apresiasi itu. Namun negara kerap ‘datang terlambat’ sebelum terjadinya bencana; rumah dibangun kembali, infrastruktur diperbaiki, bantuan stimulan diberikan. Namun yang sering tidak tuntas: pemulihan ekosistem hulu sungai, evaluasi izin tambang dan perkebunan, relokasi warga dari zona rawan, serta penegakan hukum lingkungan.

Saat keraguan warga terhadap pemerintah tumbuh, justru sejumlah pejabat mempertontonkan rasa “empati” yang terasa dibuat-buat. Bukannya membuat warga tenang atas kehadiran negara, justru sebaliknya. Yang menjadi banyak sorotan diantaranya adalah Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, aksinya memanggul sekarung beras di lokasi terdampak banjir mungkin dimaksudkan untuk membangun ‘citra’ pemerintah yang hadir membantu di tengah kesulitan warga. Hasil yang didapat? Justru kritik keras terhadap Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut. Karena tentu saja tidak perlu menjadi sekelas menteri untuk bisa mengantarkan sekarung beras ke posko bencana.

Selain itu, menggunakan rompi taktikal di lokasi bencana sambil berpose menunjuk entah apa yang dilakukan Varrell Bramasta, anggota Komisi X DPR RI, serta akting Zita Anjani sang Utusan Khusus Presiden Bidang Pariwisata yang membersihkan rumah warga di depan kamera juga mendapat kritikan dari warga.

BNPB, perangkat negara yang seharusnya fokus menanganin penanggulangan bencana dan memberikan rasa tenang bagi warga juga tidak lepas dari ‘blunder’. Statment Kepala BNPB Letnan Jenderal Suharyanto yang sempat menyebut “bencana Sumatera hanya mencekam di Medsos.” menunjukkan dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, kacaunya koordinasi internal perangkat negara sehingga kepala lembaga pemerintah non kementerian tidak mengetahui apa yang terjadi pada tingkat daerah. Kedua, Letnan Jenderal Suharyanto tidak memahami komunikasi publik dengan baik, alih-alih menenangkan warga justru membuat warga mempertanyakan, bahkan marah dengan statment yang dirinya buat. Pernyataan ini dinilai sudah nirempati dan memperburuk persepsi publik terhadap sikap BNPB, yang seharusnya menjadi garda terdepan komunikasi krisis saat bencana.

Dalam bidang ilmu komunikasi, terdapat Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang diperkenalkan oleh W. Timothy Coombs. Intinya, ketika terjadi krisis negara harus menyesuaikan pesan dengan tingkat tanggung jawabnya, persepsi publik, serta dampak terhadap korban. Dalam konteks bencana banjir di Pulau Sumatera, seharusnya negara mengakui penderitaan korban, tunjukkan tanggung jawab moral, dan fokus terhadap pemulihan korban bukan jumlah besar bantuan yang sudah diberikan. Alih-alih meredam krisis, komunikasi defensif justru memperbesar krisis kepercayaan dan gagal menenangkan persepsi publik terhadap kinerja pemerintah.

Keraguan warga terhadap kinerja pemerintah tersebut mungkin mendasari gerakan kolektif warga untuk membantu saudara se-tanah air yang sedang mengalami musibah. Gerakan ‘warga bantu warga’ menggema di sosial media, donasi dari perseorangan maupun pihak swasta terhimpun. Namun sayang, lagi dan lagi komunikasi difensif tetap ditampilkan para pemegang kekuasaan. Kali ini Anggota Komsi I DPR dari Fraksi Gerindra, Endipat Wijaya menyebut relawan yang dianggapnya hanya sekali datang ke lokasi bencana menjadi ‘si paling-paling’ juga membandingkan donasi warga sebesar Rp10 miliar tidak sebanding dengan bantuan senilai triliunan rupiah yang telah digelontorkan oleh negara.

Bukan kesan membela harga diri negara yang timbul dari pernyataan tersebut, justru muncul pertanyaan, negara takut kalah saing?

Pernyataan tersebut langsung menuai reaksi keras dari warga, sebab banyak warga menilai pernyataan itu seolah-olah mengecilkan kontribusi nyata dari relawan yang turun langsung ke lokasi bencana dan membantu korban secara cepat. Kritik publik juga muncul karena pernyataan itu dianggap kurang empati terhadap warga terdampak dan relawan. Banyak yang merasa penggalangan dana untuk korban adalah hal mulia, sementara kritik itu terkesan berfokus pada perbandingan nominal.

Dalam SCCT, krisis dibagi menurut tingkat atribusi tanggung jawab. Banjir bandang di Sumatera masuk kategori preventable/at least partially preventable crisis, karena publik melihat ada kerusakan lingkungan, kegagalan tata ruang, dan pembiaran struktural.

Dalam kondisi ini, SCCT menganjurkan komunikasi publik yang ditampilkan seharusnya mengandung rasa empati tinggi, pengakuan penderitaan, serta komitmen perbaikan. Namun yang dilakukan Endipat justru strategi “defensive posture” dengan menonjolkan besarnya anggaran, membandingkan negara vs relawan, dan membela institusi.

Dengan membandingkan negara dan relawan, tanpa disadari pernyataan itu membangun frame antagonistik, seolah solidaritas warga adalah tandingan negara. padalah dalam konteks komunikasi krisis, relawan seharusnya diposisiskan sebagai mitra, bukan pembanding.

Dalam jangka panjang, kesalahan komunikasi publik yang terus dipertontontan oleh para pejabat dapat berimplikasi pada publik yang lebih percaya narasi relawan, komunikasi resmi yang kalah oleh storytelling akar rumput, dan yang paling parah negara kehilangan posisi sebagai trusted narrator.

Prinsip dasar dalam komunikasi krisis adalah cara berbicara lebih penting daripada apa yang dibicarakan. Dalam hampir semua teori komunikasi krisis, ada satu kesepakatan yakni kepercayaan publik dibangun bukan lewat pembelaan, tetapi lewat empati, kejujuran, dan arah yang jelas. Sehingga sudah sepatutnya setiap statement dari pejabat publik harus dimulai dari empati, kemudian akui ketidakpastian secara jujur, jadikan warga dan relawan sebagai mitra, bukan pembanding, dan yang terpenting bicara solusi ke depan bukan pencapaian ke belakang.

Pernyataan Endipat Wijaya dan Kepala BNPB tidak salah secara niat, tetapi salah secara komunikasi krisis. Perbaikannya bukan soal mengubah kebijakan, melainkan mengubah urutan pesan, mengubah bahasa, dan mengubah cara memosisikan publik.

Dalam krisis, satu kalimat yang empatik lebih berharga daripada seribu data yang defensif. (*)