Oleh: M. Dudi Hari Saputra, MA*
LANGKAH yang diambil Pak Jokowi sudah tepat dengan mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia tetap mendukung kemerdekaan Palestina.
Dan di sisi lain juga tetap menerima keikutsertaan Israel sebagai peserta piala dunia usia 20 karena itu merupakan konsekuensi Indonesia sebagai tuan rumah yang menjadi bagian negara yang tergabung di FIFA, dan juga termasuk di organisasi internasional lain di mana Israel menjadi salah satu anggotanya.
Senang tidak senang atau suka tidak suka itulah konsekuensi hubungan internasional dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam G-20 tentu patut mengingat peristiwa di mana negara-negara blok barat sempat ingin memboikot keikutsertaan Rusia, tapi Rusia dengan bijak hanya mengirim perwakilan nya yakni Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, tanpa kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin agar G-20 di Indonesia tetap berjalan lancar.
Tentu Indonesia tidak bisa berharap Israel akan bersikap sama seperti Rusia, dan apa pun reaksi dari negara lain Indonesia harus menyikapi nya secara bijak selama tidak mengancam atau mengganggu kepentingan nasional.
Dan akhirnya dapat diketahui bahwa mendorong ide bung Karno tidaklah mudah, beberapa Gubernur yang menyuarakan penolakan terhadap Israel langsung mendapat reaksi keras dari FIFA, sama halnya Bung Karno dulu yang bahkan pada titik eskalasi paling tinggi sampai menyebabkan Indonesia keluar dari PBB.
Dan Jokowi lebih memilih jalan tengah dengan pendekatan Two State Solution nya, karena Jokowi memahami bagaimana derajat kekuatan hegemoni blok barat dalam menekan agenda politik nya yang akhirnya Indonesia harus alami dampak langsung hal tersebut dari pagelaran olahraga Internasional.
Bahkan Presiden Jokowi secara resmi mengutus Erick Tohir yang merupakan ketua PSSI dan mantan presiden klub Inter Milan untuk melobi presiden FIFA Gianni Infantino yang juga fans Inter Milan ini untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia usia 20.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, FIFA sudah membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah. Mereka tidak bergeming ketika Presiden Jokowi sudah mengeluarkan pidato resmi untuk tetap menerima keikutsertaan Israel.
Langkah Ke Depan
Lantas bagaimana reaksi Indonesia ke depan ?. Menurut penulis Indonesia harus mulai menyiapkan langkah-langkah untuk tidak lagi terlalu bergantung dengan blok barat, dalam kasus larangan ekspor nikel yang di gugat oleh Uni Eropa di WTO (World Trade Organization), Indonesia tetap teguh untuk menolak ekspor secara mentah walau kalah di WTO.
Dan tentu akan ada konsekuensi lebih lanjut dari blok Barat yang bisa jadi ke depan tidak hanya memboikot Indonesia di event olahraga tapi bahkan pada level embargo ekonomi dan militer.
Ketertarikan Tiongkok untuk mengikutsertakan Indonesia ke dalam organisasi ekonomi-politik BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) adalah peluang yang baik sebagai alternatif ruang ekonomi dan politik internasional ke depan, mengingat BRICS sendiri meliputi 42 persen dari penduduk dunia, memiliki 27 persen dari luas dunia, dan 32 persen GDP Global.
Keikutsertaan Indonesia ke dalam organisasi tersebut di tambah beberapa negara lain seperti Arab Saudi, Iran, Mesir, Argentina, Kazakhstan, UAE, Nigeria, Senegal, dan Thailand. Tentu akan menjadi kekuatan ekonomi dan politik yang luar biasa karena hampir melebihi 50% kekuatan ekonomi dan politik global.
Dan di antara sesama negara BRICS mereka sudah menerapkan sistem moneter, perdagangan dan keuangan nya tersendiri dan lepas dari hegemoni blok barat dalam hal ini adalah Amerika Serikat dengan mata uang Dollar nya.
Menurut pendapat hemat penulis Indonesia harus berani mengambil langkah ini untuk menjaga marwah dan kepentingan nasional ke depan nya, karena kegagalan Presiden Jokowi untuk meyakinkan FIFA terkait piala dunia usia 20 dan kekalahan di WTO terkait larangan ekspor nikel mentah sudah menjadi lampu kuning untuk Indonesia bahwa blok barat masih meremehkan Indonesia dan suatu saat bisa mengambil keputusan sepihak yang bisa merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Tapi di sisi lain Indonesia harus mampu merumuskan kebijakan politik luar negeri yang berasaskan nilai luhur bangsa di tengah kondisi politik dunia yang masih terjebak pada pertarungan 2 kekuatan hegemoni dunia, Indonesia harus mampu menjadi negara penyeimbang (balance of power) agar selalu terjadi keseimbangan kekuatan dunia yakni kesediaan untuk saling berbagi kepentingan, kekuatan dan tindakan yang bertujuan menciptakan tidak terancamnya kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing negaraMichael C. Williams (2005). Yang salah satunya bisa melalui Diplomasi dengan Nilai Bhinneka Tunggal Ika.
Diplomasi Bhinneka Tunggal Ika
Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika sendiri berangkat dari tulisan Mpu Tantular, seorang penganut Budha Tantrayana, pujangga agung kerajaan Majapahit di era kepemimpinan Raja Hayamwuruk (1350-1389), yang di tulis pada Kakawin Sutasoma, Pupuh (Bab) 139, bait 5 yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrva” jika diterjemahkan secara etimologis bermakna “Berbeda-beda itu satu itu, tak ada pengabdian yang mendua”.
Intelektual serta pakar dari Universitas Indonesia dan Lembaga Ketahanan Nasional Jenny Hardjanto (2022) menjelaskan bahwa Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai kebangsaan inklusif, gotong royong, solidaritas, integritas, kepercayaan, tanggung jawab, kesetaraan, toleransi dan perdamaian. Nilai ini tentu sinergis untuk diimplementasikan di dalam pergaulan Indonesia di level nasional maupun internasional.
Terkait konteks menjawab tantangan tatanan dunia baru akibat pergesekan antara blok barat dan timur, secara internal nilai gotong royong, kepercayaan dan tanggung jawab menjadi modal utama bagi bangsa dan negara Indonesia untuk menjaga ketahanan dan kepentingan nasional di tengah gejolak ketidakpercayaan global. Dengan semangat gotong royong yang dibarengi rasa kepercayaan serta tanggung jawab.
Secara eksternal nilai keadilan, toleransi, inklusif, solidaritas, kesetaraan dan perdamaian, diharapkan mampu menjadi tonggak kebijakan luar negeri Indonesia yang sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika dan pembukaan UUD 1945 yang bertujuan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Yang termanifestasi di dalam kebijakan luar negeri bebas aktif yang bertujuan agar Indonesia tidak terjebak pada kepentingan blok Barat maupun blok Timur sebagaimana yang dicetuskan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Maka sudah sewajarnya Indonesia di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo seharusnya mampu menjalankan diplomasi Bhinneka Tunggal Ika dan menjadi penggerak untuk mengurangi atau menghentikan tatanan dunia yang penuh konflik dan saling menjatuhkan di pihak blok Barat dan blok Timur karena tatanan dunia yang bipolar dan penuh konflik tersebut hanya akan menyisakan kesengsaraan dan penderitaan bagi negara dan masyarakat dunia, tidak terkecuali bagi negara dan bangsa Indonesia itu sendiri.
*penulis adalah Dosen Universitas Kutai Kartanegara